Senin, 09 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (prolog)



Ini maksudnya cerita bersambung yang baru-baru ini dibuat oleh saya sendiri.

Judulnya terasa asing di kepala, tapi ijinkan saya melontarkan satu frasa bahasa Inggris di sini.

Primordial Soup.

Terbayang? atau tidak sama sekali? Biar lebih pasti gunakan mesin pencari (ehem, ehem, google). Penulis memang berniat sok pintar dengan memakai frasa bahasa luar, tetapi biarkanlah saya seperti itu karena sudah bawaan sejak lahir. Maaf.





Title: Primordial
Genre: Sci-fi


Prolog



Kejadian itu, sudah 6 tahun lamanya. Aku masih dapat mengingatnya seakan itu baru terjadi kemarin. Seperti film yang diputar kembali setiap aku menutup kedua pelupuk mataku ini, memori itu tak kunjung hilang, atau setidaknya terbenam di tumpukan kenangan manis yang aku punya. Tidak terpikirkan olehku untuk melupakan kejadian tersebut, sebabnya bukan karena kesibukkan dunia nyata, tetapi...

“Ada urusan apa malam-malam?”

“...”

Tetapi, memang aku sendiri sadar bahwa memorinya tak akan bisa hilang, dengan cara apapun. Sudah kucoba berkunjung ke beberapa psikolog, jawaban mereka semua sama; ingatan itu akan hilang dengan sendirinya. Mungkin bukan tempatku untuk berbicara mengenai kompetensi, tapi aku tidak bisa menahan kekesalan saat mereka memberiku jawaban yang tidak solutif dengan santainya seakan ini adalah sesuatu yang normal.

“Hmmh, baiklah. Jangan lupa kunci pintunya jika kamu sudah kembali,”

Aku sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan normal sejak lama. Bagaimanapun juga, aku harus konsentrasi belajar, khususnya tahun ini. Memang, untuk orang lain aku terlihat seperti memaksakan diri, dan aku memaklumi hal itu. Lolos seleksi tingkat nasional ke salah satu Universitas ternama di Batavia I telah menjadi tujuanku, dan sudah jelas itu bukan sesuatu hal yang teramat muluk untuk orang ber-IQ 157 sepertiku, tapi itu bukan berarti aku bisa bersantai tanpa beban, kau tidak pernah tahu apa atau siapa yang menikammu dari belakang.

“Kamu tidak apa-apa kan sendiri? Rumah ini luas lho, dan aku dengar ada...”

Kurva dan lekukan wajahnya berubah seketika, seiring dengan warnanya yang memudar. “...A-Ada apa?”

Rumah yang aku tinggali sekarang bukan milikku, melainkan milik teman SMP-ku, Nadia. Ah, sebenarnya rumah itu bukan benar-benar miliknya, namun apa bedanya? Tukang cuci yang pulang jam 4 sore dan ayah yang sering bussiness trip ke luar kota sudah cukup meyakinkanku bahwa rumah itu ditinggali hampir sepenuhnya oleh ia seorang. Hah? Nekat? Tidak sama sekali. Aku menginap di rumahnya dua tahun belakangan ini karena dia memintaku, lagipula rumahku sedang dalam proses pemindahan tangan, dan aku sudah bosan mendengar celotehan ibu-ibu PKK tentang kehadiranku sampai di titik dimana aku tidak peduli lagi.

Perasaan geli eksis di otakku. Gadis itu, aku ingin menggodanya lebih jauh. “Ada..pembunuhan tragis. Aku dengar arwahnya ma-”

“Jangan diteruskan!” wanita muda dihadapanku seraya gemetar, menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Tidak heran dia sangat populer di sekolah. Maksudku, lihat saja kelakuannya. Aku yakin satu-satunya alasan dia tidak punya pacar adalah karena aku tinggal di rumahnya, yang secara tidak langsung mematri asumsi bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Aku mengambil napas, tidak terasa sudah lama sekali aku tidak mengerjainnya. “Ha? Aku tidak menyangka kamu adalah tipe orang penakut seperti ini.“

“Siapa bilang aku penakut? Aku hanya...” hal yang aku merasa selalu berhutang pada wanita muda dihadapanku ini adalah bagaimana dia memperlakukanku seperti seorang bocah. Semua pekerjaan rumah dilakukannya tanpa menyisakan satu pun untukku. Aku tidak pernah bilang tidak butuh bantuannya, karena itu mustahil, tidak mungkin aku menolak makan tiga kali sehari yang gratis, tanpa melakukan tindak kriminal tentunya.

Terasa ada yang bergetar di saku celanaku. Oh Tuhan, aku lupa.

“Sepertinya si bos memanggilku,” aku bergegas menuju gerbang rumah ketika lengan kemeja putihku tertarik, aku penasaran apa yang dia inginkan sekarang.

“Sebentar saja,”

Ini bukan waktu yang tepat, tapi tentu saja Nadia tidak seharusnya tahu itu.

“Oh? Rupanya kau benar-benar takut berada di sini, hmm?,” dia menggeleng, pertanda bukan itu maksudnya.

Nadia mendekat kearahku dan dengan mata coklatnya menatapku. Aku hanya bisa terdiam ketika menyadari seluruh tubuhku tiba-tiba menjadi lumpuh. Seakan bisu, suara dari kerongkonganku juga tak kunjung datang. Saat napasku menjadi berat, aku merasa ada yang salah. “Akhh!”

Rasanya perih. Aku ingin menangis tapi apa daya. Lengan dan kedua kakiku yang tanpa kusadari telah lumpuh, sekarang terasa panas; bak berendam di kawah gunung berapi. Kemudian tubuhku lemas, tergeletak di hamparan paving block yang dingin.

Samar, mataku menangkap siluet seseorang. Nadia. Dia cuma menatapku. Lama sekali. Perasaanku berkata dia akan tetap diam sampai entah kapan. Namun aku bersedia menunggu, hanya untuk mendengar suaranya.

“Kumohon, bicaralah”

Hingga kesadaranku pun mulai hilang menunggu bibir manisnya bergerak. Dan di gelapnya pandangan, aku masih berharap mendengar suaranya. Tentu saja, bukan itu yang terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar