Senin, 09 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-1)

I've decided to seperate the chapters into parts, so that it would be less tedious to read rather than reading a whole chapter.

Enjoy, if you will.




Title: Primordial


Chapter 1 part 1




“Nak, bisakah kau keluarkan karcismu?” Aku terbangun.

Melihat sekeliling, mataku berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Dari bentuknya, sepertnya aku sedang ada di salah satu gerbong dari kereta bawah tanah. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 8:30. Baguslah, aku belum terlambat untuk kelas.




“Nak? Kau punya karcismu kan?” di hadapanku berdiri seorang pria paruh baya dengan seragam kondektur. Senyumannya yang lebar kubakas dengan tertawaan kecil.

'Aku ridak ingat pernah membeli karcis pagi ini,'

“Sebentar, akan kucari di tas,” Aku bergegas merogoh saku tasku.

Gawat, aku tidak menemukannya. Di saku tas, di bagian belakang, sudah kucari semuanya. Mungkin di saku celana? Tidak mungkin.

Sial, ternyata aku akan menumpang gratis di kereta ini. Aku hanya berharap orang ini dapat menerima alasanku.

Satu hal yang membuatku resah soal ini adalah rumor yang beberapa hari ini aku dengar.

Mereka bilang, banyak dari anak Sekolah menengah sepertiku yang hilang saat menaiki kereta jam pagi. Salah seorang saksi mengatakan kondektur yang bertugas kerap kali menggiring para penumpang yang tidak mempunyai karcis ke gerbong belakang. Tidak ada yang pernah ke gerbong belakang dan entah mengapa, si kondektur selalu keluar dari gerbong belakang sendirian setelah membawa masuk si penumpang gratisan.

Kondektur itu masih tersenyum ke arahku, menengadahkan tangannya. Dengan sopan, aku berdiri dan berbalik senyum ke arahnya. Kemudian aku meminta maaf kepadanya dengan nada menyesal dan alasan bahwa karcisku hilang.

Kondektur itu masih tersenyum kearahku.

“Jadi, bolehkah saya menumpang di kereta ini? Setidaknya sampai di pemberhentian selanjutnya?” Aku bertanya kepadanya.

Diam, Kondektur itu tersenyum kepadaku.
“Pak?”

Senyumnya yang lebar kali ini terkesan mengerikan untukku karena tidak ada jawaban. Suasana gerbong yang jendelanya berkabut karena pendingin ruangan juga membuat ketakutan ini makin kental. Secara singkat, situasi ini benar-benar tidak menguntungkan bagiku.

Kondektur itu masih tersenyum kepadaku.

“Bisakah kamu ikut denganku, nak?”

Aku berpikir sejenak. Gerbong ini sangat sepi, bila kulihat secara seksama. Hanya ada aku, si kondektur, dan orang tua di sudut kanan dari tempatku berdiri. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku.

“Baiklah,” aku jawab.

Chelsea smile.

Kondektur itu dengan cekatan meraih kerah kemejaku, mengangkatku sehungga aku tidak menginjak lantai gerbong lagi. Aku menyadari bahwa si kondektur memang mempunyai tubuh yang besar dan tinggi, tetapi jarak dari lantai gerbong ke kakiku mengkonfirmasikan hal itu. Sulit dipercaya, apakah ada orang normal yang bisa melakukan hal semacam ini?

“Ikuti aku,”

Aku berusaha melepaskan cengkramannya dengan hasil percuma. Kedua tanganku hanya bagaikan tangan bayi yang hendak merebut mainan dari ayahnya. Cengkramannya sangat kuat sampai aku tidak percaya sama sekali kalau dia manusia.

“Bagaimana-ack! Bisa bila kau memegangiku seperti ini?”

Dia menaikkan salah satu alisnya. “Hmm? Ikuti saja aku dan jangan banyak bicara,”

Tiba-tiba dia melepas tangannya dari kerah kemejaku, membuat diriku jatuh menghantam lantai. Untung saja kepalaku tidak jatuh duluan, atau itu akan terasa sakit sekali.

“Berdiri dan ikuti aku,” dia berkata sambil menuju ke arah pintu gerbong, masih tersenyum.

Aku segera merapikan dasi dan kerahku sambil menggigil karena udara di sekitar. Tsk, ternyata orang tua itu sudah kabur ke gerbong lain, dasar tidak berguna.

“Ayo nak, jangan membuatku menunggu,” Perutku merasa tidak enak dan aku tahu ini suatu pertanda. Aku hanya berharap bisa datang tepat waktu ke kelas.

0 komentar:

Posting Komentar