Selasa, 10 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial {Chapter 1-3)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.



Title: Primordial


Chapter 1 part 3

Entah apa yang orang pikir, melihat kami berlarian disekitar gerbong. Bermain kucing-kucingan layaknya dua bocah ingusan.

Pria itu pun tak kenal lelahnya mengayunkan pisau dapur ke arahku. Walaupun redup, sinar kekuningan dari lampu bohlam membantuku menghindarinya.

“Tidakkah sebaiknya kau menyerah dan pasrah menerima hukuman, anak kecil?”

Aku membalas senyum sarkastiknya. “Aku rasa tidak hari ini, pak kondektur,”

Pisaunya menghujam lagi, sekarang menuju tulang rusukku. “Wooosh!” tusukkan kondektur masih gesit kali ini. Kugerakkan badan 90 derajat ke samping, alhasil benda sialan itu cuma menusuk udara. Dapat kudengar desis kekecewaan dari mulutnya.

“Cih, selanjutnya akan tepat sasaran”

Menghindarinya mudah; serangan itu sama persis seperti yang ia lancarkan sejak pertama dia menyerangku. Masalahnya, aku harus menghentikan permainan ini, segera.

Beresiko, tetapi patut dicoba. “Kemari kau, orang tua!” teriakku lantang.

“Dasar kurang ajar! Kuajari kau sopan santun” Bunyi seretan sol sepatu pantofel memenuhi gendang telingaku. Tentu saja, hal ini membuatku bingung. Orang itu buas bukan main beberapa detik yang lalu, lalu sekarang dia menggeser kakinya perlahan ke arahku. Jangankan melukai kakinya, menyentuh kulitnya saja aku belum pernah.

Ia pasti terkilir.

Dekat tepi dekat jendela di ujung, Pisaunya hendak menghujam daerah Jantungku, tapi aku berhasil menghindar. yang membuatnya sedikit terkejut. 'Kesempatan!' batinku berseru. Aku coba mengarahkan kepalan tanganku ke matanya.

“Ugh!” serangan itu adalah kejutan semata, karena serangan sesungguhnya berawal dari kuda-kudaku, yang mudah dipersiapkan setelah serangan pertama.

“Ha!” Roundhouse kick segera disantap olehnya langsung dari kaki kananku selang beberapa detik.

“Argh!” Menuju lantai baja dia jatuh tersungkur. Dari pandanganku dia terlihat tak berdaya, untuk bangun sekalipun. Ketika darah mengalir dari pelipisnya, aku tahu bahwa sepakan kakiku tepat sasaran. Beruntung sepatu yang kupakai adalah sepatu standar sekolah. Jika menggunakan sepatu khusus 'hunting' punyaku, nyawa kondektur sudah raib sejak tadi.

Sang kondektur kini terkulai lemas dihadapanku. Pisau yang terlepas segera ku ambil(untuk berjaga-jaga). Kotak pembuangan di dekat pintu masuk sempat kulirik. Penciumanku tak akan salah, dari situlah bau amis sialan ini berasal. Sulit dipercaya hidungku belum terbiasa mencium baunya sama sekali. Busuk, seperti bangkai.

Aku masih berdiri di bawah lampu lima watt yang menerangi gerbong ini, menimbang berbagai pilihan yang mungkin bagiku. Membunuhnya akan membuat diriku sangat tidak bermoral, bahkan menurut standar yang kubuat sendiri. Membiarkannya disini akan membuatnya mengulangi hal yang sama ke siapa saja yang naik ke kereta ini tanpa membawa karcis, dan aku sangat tidak mungkin memanggil polisi; melaporkan kejadian absurd kepada polisi sering membuat mereka jengkel, salah-salah nanti aku dijadikan tahanan.

“Beraninya kau.., hah?” matanya terbelalak saat pisau dapurnya ku arahkan kepadanya.

“Ya, kenapa tidak?”

Aku lihat wajahnya pucat seperti habis melihat setan. Mungkin aku memang sedikit kejam, menendang seorang paruh baya sepertinya, tapi aku tidak seseram yang ia bayangkan. Ini apa yang
mereka sebut “self-defense” kan?

“Mungkin anda mempunyai sesuatu yang ingin dikatakan sebelum pisau ini menembus leher anda?”

Dia menggumam untuk yang entah keberapa kalinya, lalu terbahak lebih keras dari sebelumnya. Matanya tidak lagi menunjukkan emosi ketakutan. Senyumnya juga tidak tampak di wajahnya, digantikan oleh lidah yang menjulur keluar dari mulutnya; dia terlihat seperti seekor anjing kelaparan.

“Diam kau! Aku bisa membunuhmu saat ini juga, tahu?”

Dia tetap terbahak, seperti tidak mendengar suaraku sama sekali.

“Aku bilang diam!”

Tangan kananku bergetar dan melepas pisau dapur itu. Aku merasa sangat mual tiba-tiba. Aku berjalan mundur dari si kondektur dan duduk termangu melihat layar hitam di hadapanku.

'Sial, ada apa dengan tubuhku?'

Semuanya hilang. Lampu lima watt, pisau dapur, si kondektur maniak, semuanya tidak ada di pandanganku. Aku mencoba meraba-raba lingkungan disekitarku. Logam, setidaknya aku tahu aku masih di gerbong.

“Ini sangat menyenangkan. Teriakan para kriminal sepertimu selalu terdengar seperti musik di telingaku,” lalu aku mendengar suara motor mesin berputar.

“Nnnggeeeeeennng”

Aku punya beberapa kemungkinan yang mungkin benar tentang motor itu. Satu, generator sedang dinyalakan; hanya bekerja bila listrik mati. Dua, itu sama sekali bukan suara motor. Tiga, suara itu mirip seperti gergaji mesin; mungkin hanya halusinasiku karena menonton film horror terlalu sering.

Pilihan pertama sebenarnya yang aku ingin percaya. Hanya saja, yang aku tahu, generator listrik bekerja terhadap kereta buatan sebelum tahun 310 di sistem antargerbong setelah listrik mati. Model setelah tahun 310 sudah beralih ke tenaga surya via bilik dengan tinggi sepadan rel. Bilik ini ada setiap tempat pemberhentian di semua stasiun. Mengingat iklim intens Batavia, ini terbukti efektif menanggulangi kehabisan tenaga pengoperasian di perjalanan.

Satu poin terepenting adalah bahwa kereta ini mustahil berasal dari tahun 310. Peraturan prefektur kami telah jelas menyatakan pemberhentian operasi kereta bawah tanah yang berumur lebih dari sepuluh tahun.

“Mati kau, bocah,”

Kemungkinan kedua mustahil terjadi. Aku sangat yakin ini suara motor, karena...suaranya semakin dekat di telingaku. Beberapa derap langkah ke arahku, ini bahaya. Kucoba berdiri lagi, namun apa daya, tubuhku seluruhnya kaku. Seratus persen, aku yakin dia membawa gergaji mesin

Persetan dengan film horror, aku memang paranoid.

0 komentar:

Posting Komentar