Jumat, 13 September 2013

Because I Made This Blog

Saya selalu gelisah.

Tentang masa depan yang tak tentu, tentang harapan yang senantiasa menipu hati seolah berbisik "semua akan baik-baik saja."

Saya benci selalu dibohongi, maka saya buatlah benteng anti harapan.

Saya benci dikecewakan, maka saya tak lagi menggubris bisikannya.

Mungkin saya sama saja dengan orang lain, lebih-lebih pemuda yang tamat sekolah menengah. Memandang kosong kehidupan ini tanpa rasa tertarik atau penasaran, berpikir bahwa apapun akan sia-sia seandainya saya pun berusaha dengan sepenuh hati. Senantiasa menganggap kegagalan adalah kata yang utama kala seseorang diberi kesempatan untuk menggambarkan diri ini.

Nilai pas-pasan membawa saya ke sebuah universitas di luar kota, tanpa tujuan, dengan singgungan orang tua sebab tak mampu membanggakan keluarga masuk ke Institusi pendidikan idamannya di kota Bandung.

Haha, sungguh menyakitkan mengingatnya lagi.

Institusi itu menjadi tujuan saya belajar setelah SMA, namun mendengar orang tua mengekspresikan harapan tinggi dan bayangannya begitu kian mencabut niat yang sempat membara. Itu pasti, dengan hmnpir seluruh murid SMA se-nusantara bersaing melawan satu sama lain, saya tambah dibebani pikiran negatif seandainya saya gagal memenuhi mimpi orang tua yang terlanjur memenuhi otak. Sampai pada akhirnya, kebahagiaan orang tua lah yang diperjuangkan; masuk ke institut tersebut tak lagi menjadi tujuan pribadiku.

Alasan hidup hilang lagi, saya merasa tak lebih dari tulang dan daging, berjalan putus asa di atas muka bumi mencari alasan untuk tetap bernapas.

Hilanglah juga impian orang tua dan masa SMA; masa yang katanya, paling bahagia dan paling terngiang ketika tua nanti.

Heh.

Lulus seperti itu, saya benar-benar tidak yakin bisa hidup hingga tua. Saya juga tidak akan pernah ikut reuni, paling-paling tidak ada yang kenal dengan wajah saya yang biasa ini.

Nihil teman, nihil persahabatan, seharusnya saya lega karena tidak ada benang yang menahan, tetapi pertanyaan itu muncul saja dari benak pikir.

"Apa saja yang aku lakukan tiga tahun terakhir ini?"

Miris menjawabnya, karena cuma satu kata; belajar. Itu pun tak membuahkan hasil, nol besar.



Ada tentunya rasa iri saat melihat pemuda lain berjalan dengan senyum terkembang, melanglang buana Surabaya, kemana-mana matanya optimis mencari pengalaman. Beramai-ramai dengan temannya mengenakan pakaian necis dan bergaya menjajal mall demi mall menghabiskan waktu bersama.

Menyakitkan. Bahkan menyadari bahwa perasaan ini adalah dengki membuat perih dan berdarah dada sempit ini.

Saya tidak pernah ingin menyesal seperti ini.

Saya ingin membuat tali pertemanan. Sesuatu yang menciptakan hangat kuku disekujur tubuh ketika menyadari memilikinya.

Jadi saya--

---------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm always worried.

About the uncertain future, about the deceiving hope that always seem to whisper assuringly "everything is going to be okay."

I hate being lied to, so i create a wall against hope

I hate being let down, so i ignored the whisper.

Maybe I'm just the same as other people, especially young people who graduated from high school. Looking at this empty life without being interested or curious, thinking that nothing is worth doing seriously even if I try with all my heart. Always assuming that 'failure' is the first word to come when a person is given the opportunity to describe me.

Mediocre grades took me to a university outside the city which raised me; Jakarta , aimlessly , with painful remarks from my parents because the family could not boast of their dreams of getting their eldest son into a famous educational institutions in the city of Bandung .Haha , really painful to remember again .The institution became my goal to learn after high school , but hearing my parents express high expectations and hopeful visions so routinely revoked my intention of getting accepted that was ever-smoldering . That's for sure, with almost all high school students nationwide compete against each other, it added negative, burdening thoughts to my head, especially when i imagine their disappointed faces upon hearing that i was not accepted into that institute. In the end, going into the institute was no longer my purpose, it's my parents'

Purpose for living is lost again , I feel nothing more than bones and flesh , walking desperately upon the earth, looking for a reason to keep breathing. 


Gone also dreams of parents and my high school years ; the happiest and the most memorable times, they said.

Heh. 

Graduating from a so-so high school with an average score like that , I'm not sure I can live until i grow old . I would also never join a reunion , no one will recognize who i am anyway, not with a standard and plain face like this.

Friends nil, friendship nil, I should be relieved that there are no threads holding me to the past, but the question came so suddenly in my mind. 

" What did I do in the last three years ? "

 Sad to answer , because it's just one word ; study . And it did not give a good result, a big zero .


There is certainly a sense of envy at the sight of another young man walking with a smile spreading, wandering Surabaya, optimistic eyes looking everywhere for experience . Abuzz with his dapper attire and style spending time together with his friends, mall after mall. 


Painful. Even just to realize that this feeling is indeed, jealousy, made my narrow chest bleed and aching.

I do not ever want to regret this.

I want to make friendship. Something which creates lukewarm feeling throughout the body when i realized have it. 

 So I--





0 komentar:

Posting Komentar