Selasa, 10 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-6)

Akhir dari bab pertama cerbung ini.



Karakter di cerita ini fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan penulis. 


Title: Primordial



Chapter 1 part 6

Fokus, fokus. Sasaranku kening Hermann. Satu kali tembak, tak ada tembakan kedua. Tengah, tengah, tengah. Arahkan ke tengah. “Klik!”

“Dor!”

Pejaman mataku tak kulepaskan. Aku baru saja menembak seseorang.

“Jleb! Jleb! Jleb! Jleb!” suara itu tidak terdengar seperti suara tembakan.

“Jleb! Jleb! Jleb!”

Sebentar, jika bukan tembakan, lalu bunyi apakah itu? Kedengaran seperti benda tajam. Kelopak mata kubuka, hanya untuk melihat pemandangan menjijikkan. Aku benar-benar akan muntah kalau bisa.

Persis tujuh batang baja berujung lancip menembus dasar gerbong dan tertanam di tubuh Hermann. Tiga bersarang di mukanya, dan empat lainnya menususk leher dan bahunya. Topi petugasnya terlepas. Identitasnya sulit dikenali tanpa tanda pengenal. Posturnya menunduk, satu dorongan dari sudut tertentu mungkin bisa membuatnya meluncur menuju lantai. Darahnya mengalir dari partisi atas tubuhnya, menetes ke lantai dimana terdapat genangan darah yang lebih banyak, merah pekat. Pikiranku menuju warna cahaya di kegelapan beberapa saat sebelumnya. Sekarang aku mengerti kenapa.

“Pikirlah dahulu jika ingin mencurigaiku.”

Dia benar. Pistolnya ada di tanganku. Menarik pelatuk adalah hal bijak bila dia berani macam-macam.

Melirik ke arah pintu masuk gerbong, dia berkata: “Cepat, kita turun di stasiun ini bukan? Semua pertanyanmu akan kujawab, percayalah.”

Sial, aku lupa. Kelas dimulai jam 8:00 dan sekarang- uh, aku tidak berani melihat jam. Berhati-hati melewati mayat Hermann (apa yang akan terjadi jika teman sekelasku melihat darah di setiap jejakku?), kulangkahkan kakiku maju, ke arah pintu.

“Bau sekali, bagaimana kau bisa berdiri selama itu di tempat ini?”

“...”

Iris hijaunya mengecil. Pandangannya kosong. Rapuh.

“Hei, kau kenapa?”

Bungkam.

“Kita akan telat.”

Dia menggandeng kedua tangan. Menutup mata, berbisik berulang kali; dia berdoa. Tak sadar, sambil menunggunya aku juga ikut berdoa- meskipun tuhan kami berbeda. Selang dua menit berlalu, dia membuka matanya.

“Baiklah, mari berangkat.” aku keluar lebih dahulu, muak terjebak di tempat terkutuk itu. Segarnya partikel freon ditambah pewangi herbal memang tak ada duanya. Saking gembiranya, aku mencium dan mengendus-endus jok di sisi kanan dan kiri, mengabaikan komentarnya soal aku dan binatang anjing.

“Hmm? Diluar masih gelap. Kukira gerbong itu sengaja digelapkan.”

“Apa salahnya pergi sekolah lebih awal?”

Menggaruk keningku, aku berkata:“Tidak ada, kecuali kalau kau senang pergi sekolah pukul empat pagi.”

0 komentar:

Posting Komentar