Selasa, 10 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (chapter1-5)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.


Title: Primordal


Chapter 1 part 5

“Nah, kau dengar itu kan, Pak Hermann?” Raut wajahku santai.

Berbeda denganku, kedua orang lainnya di gerbong sepertinya terkejut. Hermann yang sedari tadi berbicara serius dengan napas tersengal-sengal sekarang bernapas lebih tentram dan teratur. Tetapi cuma keheningan yang kudapati darinya. Sumber cahaya merah itu, wanita bersayap; setidaknya kukira begitu, mulai kehilangan intensitas pendaran. Titik-titik berwarna putih sedikit terlihat di sekelilingnya, tak ubahnya sunspot pada matahari.

“Kau tahu?” Hermann bertanya, nada lirih keluar dari mulutnya.

“Aku berusaha memberiahumu,”

Alibi dan segudang dalih kusiapkan di berlakang kepalaku. Bahaya bila dia mengetahui aku telah berbohong; bukan tidak mungkin dia akan mengamuk dan membuat bagian leherku terpisah menjadi dua bagian.

“Baguslah, itu meringankan bebanku. Berarti kau sudah tahu apa yang tuanmu lakukan kepadaku,”

Motor kembali berputar.

“Tangan ini. HAHAHAHA, ya, kedua tangan ini. Merekalah yang akan memberikan hukuman yang setimpal kepada Attis dan para pengikutnya,” cahaya merah itu kembali berpendar terang.

Ketakutanku berubah menjadi kenyataan. Dia serius ingin membunuhku, bahkan di hadapan koleganya sendiri. “Hermann, berhenti sekarang juga, Kuperintahkan kau!” suara wanita itu lebih dekat dari sebelumnya.

“Yang Mulia Rena sebaiknya menjauh, saya takut nanti darahnya mengotori pakaian anda.” Belum cukup basah kemejaku oleh keringat yang terus menetes, Hermann berniat mewarnai seluruh pakaian sekolahku dengan warna merah. Pahitnya, cairan ide milikku tak kunjung menghasilkan sesuatu. Harus kuakui, letak harapan satu-satunya adalah sosok misterius yang bersinar merah. Perbincangan mereka membuatku berpikir hubungan mereka layaknya Nyonya dan pembantu. Perkiraanku, sangat wajar jika dia lebih kuat dari Hermann.

“Baiklah, kalau kau bersikeras menghapusnya.” wanita misterius berkata. Lucu, kukira radius sinarnya mulai melebar kingga ke bagian sisi kanan dan kiri gerbong. “Terpaksa aku melakukan ini.”

Lebih dari itu, aku merasakan radiasi berupa panas di sekujur tubuh ini, dan aku yakin suhunya semakin naik seiring waktu berjalan. Tidak salah lagi, dia memancarkan energi. Dalam jumlah besar, karena pengaruh nyata terhadap lingkungan sekitar telah kurasakan sendiri; langsung kujauhi dinding ketika panasnya menyengat sikutku.

Whooosh!” semilir angin menerpa badanku.

Lalu warna familiar yang berkilat, menghampiri posisiku.

“Dak!” Benturan pada bagian otak kecil dengan dinding. Siapapun dia, aku harus membalasnya. Seenaknya mengepal kepala milik orang lain lalu menghantamnya ke dinding logam. Wanita itu, dia pikir siapa dirinya?

Kurang ajar, namun ada hal yang menjadi fokus perhatianku. Telapak tangannya. “Eh?” Mungil. Dugaanku, siapapun yang menjinakkan hewan buas seperti Hermann mempunyai perawakan yang kurang lebih sebanding, atau lebih seram dan mencurigakan. Kutarik kembali persepsiku soal menganggap dia seorang wanita, sebab rasanya mustahil telapak tangan halus nan mungil itu milik orang dewasa. Setidakny mustahil dia lebih tua dari 15 tahun.

“Tenanglah, kau akan segera pulih.” dia berkata seraya memijat keningku. Energi di dalam tubuhku pulih, meskipun perlahan.“Sebagai gantinya, amu butuh bantuanmu.” lanjutnya.

Berangsur-angsur, hilanglah layar hitam dengan segala rasa lumpuh. Kilau merah yang sedari tadi kulihat raib, digantikan oleh seorang gadis yang berdiri kurang tiga jengkal dari hidungku. Terlalu dekat memang, dan aku merasa tak nyaman didekatnya. Namun, situasi genting seperti ini bukan saatnya untuk memilih keadaan.

“Sebelumnya terima kasih, tapi dia...” sengaja kulirik bagian belakang gadis itu. Dan tidak, aku tidak memalingkan wajahku darinya karena melihat dari dekat muka rupawan atau torso ala model miliknya. Hanya saja, ia memakai seragam murid perempuan sekolahku, yang cuma terdiri dari blus putih dan rok hitam-putih bercorak papan catur. Tunggu dulu, setelah kuingat blusnya berwarna lebih ke transparan daripada putih. “Glek.” Cih, aliran darah menuju wajahku. Aku sangat berterima kasih bila dia menjauh sebelum aku berfantasi tentang sesuatu yang menyedihkan antara kami berdua.

Tentu saja, dia masih dibawah Nadia, jika diberi rangking.

“Benar, karena itu aku membutuhkanmu dalam keadaan fokus, segera.” Hermann setia dengan pendiriannya; dia semakin mendekat. Anehnya, kedua bola mata sang maniak tetap tertuju padaku, seakan orang didepanku tak pernah ada disitu. Maksudku dia bahkan tak mengoceh lagi, hanya lurus menatapku. “Konsentrasi pada Hermann seorang.” lalu dia merogoh saku roknya.

“Ambillah, kau tahu selanjutnya kan?” tersenyum manis, dia menaruh begitu saja sebuah pistol magnum di atas telapak tanganku.

“Apa maksudmu?”

“Saat ini, Hermann tak dapat melihatku. Dimatanya kau sendirian, terpojok.”

"A-Apa? bagaimana mung-"

"Ini bukan waktunya menjelaskan! nyawamu sedang terancam."

Pistol ini adalah model ketiga yang dibuat oleh perusahaan Weyner & Reynold. Kaliber, atau diameter larasnya, selebar 44 inci. Kapasitas maksimal 6 peluru, serta merupakan kebanggaan para Nippon. Kekuatannya tak sebanding apa yang tentara di seluruh dunia gunakan sekarang, tapi model klasik tetap menjadi model klasik. Orang paham sejarah akan menghargainya, lagipula merobohkan satu pria tua bukan masalah bagi senjata ini.

Masalahnya, warga sipil sepertiku belum pernah menembak satu peluru pun.

“Selamatkan dirimu sendiri” dan dia menghilang. Sama seperti sebelumnya, ada hembusan angin yang membawanya pergi. Gadis itu pun kembali ke depan pintu masuk, tanpa disadari Hermann. Tanganku pun bergetar memegang pistol itu. Aku tahu gadis itu percaya padaku, kalau tidak dia sudah melarikan diri ke...entah darimana dia datang agar terhindar dari peluru nyasar.

Seandainya aku punya pilihan, Hermann.

“Tuhan, berikan aku kekuatan” ucap batinku.

0 komentar:

Posting Komentar