Kamis, 24 April 2014

[Indonesian] [Letter] For You

                                                                                                            Surabaya, xx-xx-2014





Kepada yang terhormat,
Kepala Negara Republik Indonesia.



          Jangan berhenti membaca surat ini.

          Apa kabar, wahai pemimpin kami? Sudahkah nyaman di istana? Kami tetap di sini, masih seperti dulu, baik-baik saja. Terpencar, biasa lah, anda lebih tahu dari kami.

         Begini, soal menyerah itu sepertinya enggak jadi saja— tunggu, tunggu. Memang kami tetap percaya pada harapan, dan mungkin putusan kami ini telah mencap ‘munafik’ di masing-masing dahi kami. Haha.
       
       Tapi siapa yang bukan? Anda pun— ups, anda pasti mengerti situasi kami kan? Dengan pemimpin seperti anda dan rakyat seperti mereka… suara kami, pena kami, tidur kami, lapar kami, ibadah kami. Bergeliat di cengkraman raksasa demi kaum primitif yang hidup di gua-nya masing-masing. Mereka yang mengejar hidup dengan menaiki mobil balap sementara hidup berlalu meninggalkan mereka dengan pesawat jet. “Sumpal kuping, pejamkan mata, disini kami damai” Lihat kan, bagaimana orang-orang itu berhasil membuat kami membenci darah kami sendiri?

Haruskah tetap di jalur ini? Kami bertanya-tanya. Berapa rudal mesti dilancarkan pihak musuh agar para manusia gua lari dari zona nyaman? Larasnya sudah merenggut nyawa di belahan lain pertiwi, namun mau bagaimana lagi, gua-gua itu tidak ada jendelanya. Primitif, kami tahu. Kemudian jawaban teruntai dari langit. Begitu memalukan, kenapa sih kita masih bertanya-tanya. Jawabannya sungguh mudah. Betapa klise, “Sebab kalau tidak siapa lagi?” bukan anda pastinya. Bagaimanapun, mereka masih saudara-saudari sedarah sebangsa setanah air kami.

Rusaknya generasi anda kan jadi contoh bagi kami. Dari tragedi mengenaskan hingga insiden memalukan. Dari ruang rapat parlemen yang sepi hingga jalan-jalan penuh darah. Segenap kami menghaturkan terima kasih pada kalian. Inspirasi ini niscaya setajam panah tembus langit, saji pancaran cahaya ke seluruh nusantara. Coretan dan ketikan kami adalah senjata, artileri kelas berat hanya untuk penguasa yang zalim.  

Cukuplah. Anda mengerti bukan? Kami takkan melepasnya. Kami yakin anda bukan tipe orang yang mau bersujud demi kepentingan asing, kami yakin. Maka sudahlah. Penuhi saja sedikit dari janji-janji itu, lalu ingkari sisanya, entahlah, kami tak peduli. Orang-orang sebelum anda telah menjadikan itu sebagai hobi, jadi kami sungguh-sungguh tidak keberatan.

Sebaran kami banyak, lintas laut dan generasi. Singkirkan saudara kami, maka siapkan payung anda.

Karena kami akan turun menerjang, keras.

Wasalam.

Jangan berhenti membaca surat ini.



                                                                                                                   
Bisu dan Terpaku,
                                                                                     

    Rakyatmu.

Jumat, 08 November 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Interval I)

<Document was received on 2017-02-12>
<Reading mode chosen>





Nippon Pelindung Asia
Nippon Cahaya Asia
Nippon Pemimpin Asia


Banzai,

Sehubungan dengan kejadian-kejadian masa lampau, kami menyatakan belasungkawa atas kematian para korban dalam renetan insiden tersebut. Rangakaian kata mungkin tak cukup menghibur para kerabat yang diinggalkan. Namun kami berharap, integritas dan kepercayaan kalian kepada Dai Nippon iidak pernah surut. Kami yakin ini semua akan berakhir baik jika kita senantiasa bergandengan tangan dan percaya satu sama lain.

Kemudian sebagai respon atas serangan kelompok separatis, kami para pemuda-pemudi Dai Nippon, atas petuah sang kaisar, tengah mengadakan pencarian ekstensif di seluruh Indonesia, tidak terkecuali Maluku dan Papua. Maka dari itu, kami mengingatkan para Indonesia-jin untuk tidak menghalangimenghambat, atau memerangiproses pencarian, terlebih lagi menyembunyikan buronan. Jika ada yang melanggar, kami tidak dapat menjamin keselamatan kalian. Ketahulah bahwa kami berharap tidak lebih dari kesejahteraan dan kebahagiaan Indonesia-jin.

Persoalan terakhir adalah mengenai buronan kelompok separatis. Kami para pemuda-pemudi Dai Nippon, atas perintah kaisar, telah berunding tentang cara penyelesaian konflik kekinian di antara Indonesia-jin. Kami memutuskan untuk memberi imbalan atas jasa para Indonesia-jin yang berhasil menangkap dan/atau memberi informasi soal organisasi berbahaya lainnya. Adapun beberapa buronan Dai Nippon yang telah diketahui identitasnya adalah sebagai berikut:

1. Tudor Malakian (Imigran, postur tubuh tinggi, kulit pucat, rambut pirang)

2. Pancar Aribisma (Indonesia-jin, kulit sawo matang, rambut ikal, aktivis universitas)

3. Ruslan Hadi Prakoso (Indonesia-jin, kulit putih, rambu lurus terurai, darah biru)

4. Mustafa (ciri-ciri fisik tidak diketahui, sangat berbahaya)

5. Takahara Asagi (Nippon-jin, mantan kolonel regional III, postur tegap, membawa senapan api)

6. Takahara Rena (Nippon-jin, putri Asagi, kemampuan hipnotis, kendo, siswi sekolah menengah)

Foto-foto buronan dan besarnya imbalan akan segera diunggah ke seluruh media cetak yang beredar di seluruh prefektur. termasuk prosedur penangkapan.


Demikian pemberitahuan ini tolong diperhatikan sebagaimana mestinya.





Batavia, Heisei 27





Kepala Dewan Administrasi Prefekur Batavia


Maeda Takashi



<End of document>
<Exiting reading mode...>

Senin, 30 September 2013

Twitter Rules!

Saya serius. Twitter memang benar-benar keren.

Huh, tetapi sayang sekali karena saya baru 'menemukan'-nya tiga bulan lalu. 

Kilas pertama, saya mengira social media yang satu ini sama saja dengan yang lain. Ya... tidak beda jauh dengan Facebook atau Google+, dan ternyata saya salah selama ini.

Konsep twitter adalah micro-blogging social media. Berarti, atau setidaknya menurut pemikiran otak saya yang sederhana, Twitter dimaksudkan sebagai 'kicauan' para penggunanya tentang topik yang bebas, tentang apa saja yang ingin ditulis, dalam batasan karakter yang telah ditentukan.

Pengguna dapat mengaitkan satu atau lebih pengguna lain dalam 'kicauan'-nya, berbagi tautan, mengutarakan opininya secara bebas. 

Saya kira, itulah sejatinya fungsi media sosial di kehidupan modern. Bukannya sarana pamer wajah atau barang dengan foto hasil editan, atau kontes kepopuleran diantara penduduk dunia maya menggunakan barometer reputasi (itu menyedihkan). 

Dengan ini, saya juga telah menghapus akun Facebook saya. Kenapa? sudah jelas karena saya telah bertemu dengan penggantinya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm serious . Twitter rules, definitely .

Unfortunately because i just registered and found out about its' good points three months ago .

The first sight , I think this social media is the same as the other . Yes ... not much different from Facebook or Google+ , and it turns out I was wrong all along .

The concept of twitter is a micro - blogging social media . Means , or at least according to what my simple brain theorized , Twitter is meant as a place for its' users to ' tweet '  on a topic which is free , of what is to be written , within the limits specified character .

Users can associate one or more other users on their tweets , sharing links , expressing their opinion freely. It's great.

I think that's true of social media functions in modern life . Instead of showing off your good looks or new goods with edited photos , or a popularity contest among the residents of the virtual world with reputation bars (it's just sad).

With this , I also have deleted my Facebook account . Why you ask? why keep it anymore when i have Twitter?

Jumat, 13 September 2013

Because I Made This Blog

Saya selalu gelisah.

Tentang masa depan yang tak tentu, tentang harapan yang senantiasa menipu hati seolah berbisik "semua akan baik-baik saja."

Saya benci selalu dibohongi, maka saya buatlah benteng anti harapan.

Saya benci dikecewakan, maka saya tak lagi menggubris bisikannya.

Mungkin saya sama saja dengan orang lain, lebih-lebih pemuda yang tamat sekolah menengah. Memandang kosong kehidupan ini tanpa rasa tertarik atau penasaran, berpikir bahwa apapun akan sia-sia seandainya saya pun berusaha dengan sepenuh hati. Senantiasa menganggap kegagalan adalah kata yang utama kala seseorang diberi kesempatan untuk menggambarkan diri ini.

Nilai pas-pasan membawa saya ke sebuah universitas di luar kota, tanpa tujuan, dengan singgungan orang tua sebab tak mampu membanggakan keluarga masuk ke Institusi pendidikan idamannya di kota Bandung.

Haha, sungguh menyakitkan mengingatnya lagi.

Institusi itu menjadi tujuan saya belajar setelah SMA, namun mendengar orang tua mengekspresikan harapan tinggi dan bayangannya begitu kian mencabut niat yang sempat membara. Itu pasti, dengan hmnpir seluruh murid SMA se-nusantara bersaing melawan satu sama lain, saya tambah dibebani pikiran negatif seandainya saya gagal memenuhi mimpi orang tua yang terlanjur memenuhi otak. Sampai pada akhirnya, kebahagiaan orang tua lah yang diperjuangkan; masuk ke institut tersebut tak lagi menjadi tujuan pribadiku.

Alasan hidup hilang lagi, saya merasa tak lebih dari tulang dan daging, berjalan putus asa di atas muka bumi mencari alasan untuk tetap bernapas.

Hilanglah juga impian orang tua dan masa SMA; masa yang katanya, paling bahagia dan paling terngiang ketika tua nanti.

Heh.

Lulus seperti itu, saya benar-benar tidak yakin bisa hidup hingga tua. Saya juga tidak akan pernah ikut reuni, paling-paling tidak ada yang kenal dengan wajah saya yang biasa ini.

Nihil teman, nihil persahabatan, seharusnya saya lega karena tidak ada benang yang menahan, tetapi pertanyaan itu muncul saja dari benak pikir.

"Apa saja yang aku lakukan tiga tahun terakhir ini?"

Miris menjawabnya, karena cuma satu kata; belajar. Itu pun tak membuahkan hasil, nol besar.



Ada tentunya rasa iri saat melihat pemuda lain berjalan dengan senyum terkembang, melanglang buana Surabaya, kemana-mana matanya optimis mencari pengalaman. Beramai-ramai dengan temannya mengenakan pakaian necis dan bergaya menjajal mall demi mall menghabiskan waktu bersama.

Menyakitkan. Bahkan menyadari bahwa perasaan ini adalah dengki membuat perih dan berdarah dada sempit ini.

Saya tidak pernah ingin menyesal seperti ini.

Saya ingin membuat tali pertemanan. Sesuatu yang menciptakan hangat kuku disekujur tubuh ketika menyadari memilikinya.

Jadi saya--

---------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm always worried.

About the uncertain future, about the deceiving hope that always seem to whisper assuringly "everything is going to be okay."

I hate being lied to, so i create a wall against hope

I hate being let down, so i ignored the whisper.

Maybe I'm just the same as other people, especially young people who graduated from high school. Looking at this empty life without being interested or curious, thinking that nothing is worth doing seriously even if I try with all my heart. Always assuming that 'failure' is the first word to come when a person is given the opportunity to describe me.

Mediocre grades took me to a university outside the city which raised me; Jakarta , aimlessly , with painful remarks from my parents because the family could not boast of their dreams of getting their eldest son into a famous educational institutions in the city of Bandung .Haha , really painful to remember again .The institution became my goal to learn after high school , but hearing my parents express high expectations and hopeful visions so routinely revoked my intention of getting accepted that was ever-smoldering . That's for sure, with almost all high school students nationwide compete against each other, it added negative, burdening thoughts to my head, especially when i imagine their disappointed faces upon hearing that i was not accepted into that institute. In the end, going into the institute was no longer my purpose, it's my parents'

Purpose for living is lost again , I feel nothing more than bones and flesh , walking desperately upon the earth, looking for a reason to keep breathing. 


Gone also dreams of parents and my high school years ; the happiest and the most memorable times, they said.

Heh. 

Graduating from a so-so high school with an average score like that , I'm not sure I can live until i grow old . I would also never join a reunion , no one will recognize who i am anyway, not with a standard and plain face like this.

Friends nil, friendship nil, I should be relieved that there are no threads holding me to the past, but the question came so suddenly in my mind. 

" What did I do in the last three years ? "

 Sad to answer , because it's just one word ; study . And it did not give a good result, a big zero .


There is certainly a sense of envy at the sight of another young man walking with a smile spreading, wandering Surabaya, optimistic eyes looking everywhere for experience . Abuzz with his dapper attire and style spending time together with his friends, mall after mall. 


Painful. Even just to realize that this feeling is indeed, jealousy, made my narrow chest bleed and aching.

I do not ever want to regret this.

I want to make friendship. Something which creates lukewarm feeling throughout the body when i realized have it. 

 So I--





Kamis, 12 September 2013

Perjanjian

I do like writing in both Indonesian and English that sometimes i cannot decide which one to use when posting. 

Saya suka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga kadang saya tidak bisa memilih satu diantara keduanya ketika membuat post.

And i cannot stop myself from using both.

Dan saya pun tidak bisa berhenti menggunakan keduanya.

Of course, that would create confusion for the readers; all of you reading this blog.

Tentu, itu akan menyebabkan para pembaca; kalian semua, kebingungan.

 To solve this, i came up with an idea of using both languages in every post from now on.

Guna menyelesaikan permasalahan ini, saya mengusulkan agar menggunakan kedua bahasa di post yang sama.

It will take a lot of time and energy, especially when i have a long post-- but that is acceptable.

Ini akan memakan waktu dan energi, apalagi bila post yang saya buat tergolong panjang-- tetapi saya tidak keberatan.

I've got to take the risks.

Saya harus mengambil resiko





Selasa, 10 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-6)

Akhir dari bab pertama cerbung ini.



Karakter di cerita ini fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan penulis. 


Title: Primordial



Chapter 1 part 6

Fokus, fokus. Sasaranku kening Hermann. Satu kali tembak, tak ada tembakan kedua. Tengah, tengah, tengah. Arahkan ke tengah. “Klik!”

“Dor!”

Pejaman mataku tak kulepaskan. Aku baru saja menembak seseorang.

“Jleb! Jleb! Jleb! Jleb!” suara itu tidak terdengar seperti suara tembakan.

“Jleb! Jleb! Jleb!”

Sebentar, jika bukan tembakan, lalu bunyi apakah itu? Kedengaran seperti benda tajam. Kelopak mata kubuka, hanya untuk melihat pemandangan menjijikkan. Aku benar-benar akan muntah kalau bisa.

Persis tujuh batang baja berujung lancip menembus dasar gerbong dan tertanam di tubuh Hermann. Tiga bersarang di mukanya, dan empat lainnya menususk leher dan bahunya. Topi petugasnya terlepas. Identitasnya sulit dikenali tanpa tanda pengenal. Posturnya menunduk, satu dorongan dari sudut tertentu mungkin bisa membuatnya meluncur menuju lantai. Darahnya mengalir dari partisi atas tubuhnya, menetes ke lantai dimana terdapat genangan darah yang lebih banyak, merah pekat. Pikiranku menuju warna cahaya di kegelapan beberapa saat sebelumnya. Sekarang aku mengerti kenapa.

“Pikirlah dahulu jika ingin mencurigaiku.”

Dia benar. Pistolnya ada di tanganku. Menarik pelatuk adalah hal bijak bila dia berani macam-macam.

Melirik ke arah pintu masuk gerbong, dia berkata: “Cepat, kita turun di stasiun ini bukan? Semua pertanyanmu akan kujawab, percayalah.”

Sial, aku lupa. Kelas dimulai jam 8:00 dan sekarang- uh, aku tidak berani melihat jam. Berhati-hati melewati mayat Hermann (apa yang akan terjadi jika teman sekelasku melihat darah di setiap jejakku?), kulangkahkan kakiku maju, ke arah pintu.

“Bau sekali, bagaimana kau bisa berdiri selama itu di tempat ini?”

“...”

Iris hijaunya mengecil. Pandangannya kosong. Rapuh.

“Hei, kau kenapa?”

Bungkam.

“Kita akan telat.”

Dia menggandeng kedua tangan. Menutup mata, berbisik berulang kali; dia berdoa. Tak sadar, sambil menunggunya aku juga ikut berdoa- meskipun tuhan kami berbeda. Selang dua menit berlalu, dia membuka matanya.

“Baiklah, mari berangkat.” aku keluar lebih dahulu, muak terjebak di tempat terkutuk itu. Segarnya partikel freon ditambah pewangi herbal memang tak ada duanya. Saking gembiranya, aku mencium dan mengendus-endus jok di sisi kanan dan kiri, mengabaikan komentarnya soal aku dan binatang anjing.

“Hmm? Diluar masih gelap. Kukira gerbong itu sengaja digelapkan.”

“Apa salahnya pergi sekolah lebih awal?”

Menggaruk keningku, aku berkata:“Tidak ada, kecuali kalau kau senang pergi sekolah pukul empat pagi.”

[Indonesian] [Orific] Primordial (chapter1-5)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.


Title: Primordal


Chapter 1 part 5

“Nah, kau dengar itu kan, Pak Hermann?” Raut wajahku santai.

Berbeda denganku, kedua orang lainnya di gerbong sepertinya terkejut. Hermann yang sedari tadi berbicara serius dengan napas tersengal-sengal sekarang bernapas lebih tentram dan teratur. Tetapi cuma keheningan yang kudapati darinya. Sumber cahaya merah itu, wanita bersayap; setidaknya kukira begitu, mulai kehilangan intensitas pendaran. Titik-titik berwarna putih sedikit terlihat di sekelilingnya, tak ubahnya sunspot pada matahari.

“Kau tahu?” Hermann bertanya, nada lirih keluar dari mulutnya.

“Aku berusaha memberiahumu,”

Alibi dan segudang dalih kusiapkan di berlakang kepalaku. Bahaya bila dia mengetahui aku telah berbohong; bukan tidak mungkin dia akan mengamuk dan membuat bagian leherku terpisah menjadi dua bagian.

“Baguslah, itu meringankan bebanku. Berarti kau sudah tahu apa yang tuanmu lakukan kepadaku,”

Motor kembali berputar.

“Tangan ini. HAHAHAHA, ya, kedua tangan ini. Merekalah yang akan memberikan hukuman yang setimpal kepada Attis dan para pengikutnya,” cahaya merah itu kembali berpendar terang.

Ketakutanku berubah menjadi kenyataan. Dia serius ingin membunuhku, bahkan di hadapan koleganya sendiri. “Hermann, berhenti sekarang juga, Kuperintahkan kau!” suara wanita itu lebih dekat dari sebelumnya.

“Yang Mulia Rena sebaiknya menjauh, saya takut nanti darahnya mengotori pakaian anda.” Belum cukup basah kemejaku oleh keringat yang terus menetes, Hermann berniat mewarnai seluruh pakaian sekolahku dengan warna merah. Pahitnya, cairan ide milikku tak kunjung menghasilkan sesuatu. Harus kuakui, letak harapan satu-satunya adalah sosok misterius yang bersinar merah. Perbincangan mereka membuatku berpikir hubungan mereka layaknya Nyonya dan pembantu. Perkiraanku, sangat wajar jika dia lebih kuat dari Hermann.

“Baiklah, kalau kau bersikeras menghapusnya.” wanita misterius berkata. Lucu, kukira radius sinarnya mulai melebar kingga ke bagian sisi kanan dan kiri gerbong. “Terpaksa aku melakukan ini.”

Lebih dari itu, aku merasakan radiasi berupa panas di sekujur tubuh ini, dan aku yakin suhunya semakin naik seiring waktu berjalan. Tidak salah lagi, dia memancarkan energi. Dalam jumlah besar, karena pengaruh nyata terhadap lingkungan sekitar telah kurasakan sendiri; langsung kujauhi dinding ketika panasnya menyengat sikutku.

Whooosh!” semilir angin menerpa badanku.

Lalu warna familiar yang berkilat, menghampiri posisiku.

“Dak!” Benturan pada bagian otak kecil dengan dinding. Siapapun dia, aku harus membalasnya. Seenaknya mengepal kepala milik orang lain lalu menghantamnya ke dinding logam. Wanita itu, dia pikir siapa dirinya?

Kurang ajar, namun ada hal yang menjadi fokus perhatianku. Telapak tangannya. “Eh?” Mungil. Dugaanku, siapapun yang menjinakkan hewan buas seperti Hermann mempunyai perawakan yang kurang lebih sebanding, atau lebih seram dan mencurigakan. Kutarik kembali persepsiku soal menganggap dia seorang wanita, sebab rasanya mustahil telapak tangan halus nan mungil itu milik orang dewasa. Setidakny mustahil dia lebih tua dari 15 tahun.

“Tenanglah, kau akan segera pulih.” dia berkata seraya memijat keningku. Energi di dalam tubuhku pulih, meskipun perlahan.“Sebagai gantinya, amu butuh bantuanmu.” lanjutnya.

Berangsur-angsur, hilanglah layar hitam dengan segala rasa lumpuh. Kilau merah yang sedari tadi kulihat raib, digantikan oleh seorang gadis yang berdiri kurang tiga jengkal dari hidungku. Terlalu dekat memang, dan aku merasa tak nyaman didekatnya. Namun, situasi genting seperti ini bukan saatnya untuk memilih keadaan.

“Sebelumnya terima kasih, tapi dia...” sengaja kulirik bagian belakang gadis itu. Dan tidak, aku tidak memalingkan wajahku darinya karena melihat dari dekat muka rupawan atau torso ala model miliknya. Hanya saja, ia memakai seragam murid perempuan sekolahku, yang cuma terdiri dari blus putih dan rok hitam-putih bercorak papan catur. Tunggu dulu, setelah kuingat blusnya berwarna lebih ke transparan daripada putih. “Glek.” Cih, aliran darah menuju wajahku. Aku sangat berterima kasih bila dia menjauh sebelum aku berfantasi tentang sesuatu yang menyedihkan antara kami berdua.

Tentu saja, dia masih dibawah Nadia, jika diberi rangking.

“Benar, karena itu aku membutuhkanmu dalam keadaan fokus, segera.” Hermann setia dengan pendiriannya; dia semakin mendekat. Anehnya, kedua bola mata sang maniak tetap tertuju padaku, seakan orang didepanku tak pernah ada disitu. Maksudku dia bahkan tak mengoceh lagi, hanya lurus menatapku. “Konsentrasi pada Hermann seorang.” lalu dia merogoh saku roknya.

“Ambillah, kau tahu selanjutnya kan?” tersenyum manis, dia menaruh begitu saja sebuah pistol magnum di atas telapak tanganku.

“Apa maksudmu?”

“Saat ini, Hermann tak dapat melihatku. Dimatanya kau sendirian, terpojok.”

"A-Apa? bagaimana mung-"

"Ini bukan waktunya menjelaskan! nyawamu sedang terancam."

Pistol ini adalah model ketiga yang dibuat oleh perusahaan Weyner & Reynold. Kaliber, atau diameter larasnya, selebar 44 inci. Kapasitas maksimal 6 peluru, serta merupakan kebanggaan para Nippon. Kekuatannya tak sebanding apa yang tentara di seluruh dunia gunakan sekarang, tapi model klasik tetap menjadi model klasik. Orang paham sejarah akan menghargainya, lagipula merobohkan satu pria tua bukan masalah bagi senjata ini.

Masalahnya, warga sipil sepertiku belum pernah menembak satu peluru pun.

“Selamatkan dirimu sendiri” dan dia menghilang. Sama seperti sebelumnya, ada hembusan angin yang membawanya pergi. Gadis itu pun kembali ke depan pintu masuk, tanpa disadari Hermann. Tanganku pun bergetar memegang pistol itu. Aku tahu gadis itu percaya padaku, kalau tidak dia sudah melarikan diri ke...entah darimana dia datang agar terhindar dari peluru nyasar.

Seandainya aku punya pilihan, Hermann.

“Tuhan, berikan aku kekuatan” ucap batinku.