Surabaya,
xx-xx-2014
Kepada yang terhormat,
Kepala Negara Republik
Indonesia.
Jangan berhenti membaca surat ini.
Apa
kabar, wahai pemimpin kami? Sudahkah nyaman di istana? Kami tetap di sini,
masih seperti dulu, baik-baik saja. Terpencar, biasa lah, anda lebih
tahu dari kami.
Begini,
soal menyerah
itu sepertinya enggak jadi saja—
tunggu, tunggu. Memang kami tetap percaya pada harapan, dan mungkin putusan
kami ini telah mencap ‘munafik’ di masing-masing dahi kami. Haha.
Tapi siapa yang bukan? Anda pun— ups, anda pasti mengerti situasi kami
kan? Dengan pemimpin seperti anda dan rakyat seperti mereka…
suara kami, pena kami, tidur kami, lapar kami, ibadah kami. Bergeliat di
cengkraman raksasa demi kaum primitif
yang hidup di gua-nya masing-masing. Mereka yang mengejar hidup dengan menaiki
mobil balap sementara hidup berlalu meninggalkan mereka dengan pesawat jet. “Sumpal
kuping, pejamkan mata, disini kami damai” Lihat kan, bagaimana orang-orang itu
berhasil membuat kami membenci darah kami sendiri?
Haruskah tetap di jalur ini? Kami bertanya-tanya.
Berapa rudal mesti dilancarkan pihak musuh agar para manusia gua lari dari zona
nyaman? Larasnya sudah merenggut nyawa di belahan lain pertiwi, namun mau
bagaimana lagi, gua-gua itu tidak ada jendelanya. Primitif, kami tahu. Kemudian jawaban teruntai dari langit. Begitu
memalukan, kenapa sih kita masih bertanya-tanya. Jawabannya sungguh mudah. Betapa
klise, “Sebab kalau tidak siapa lagi?” bukan anda pastinya. Bagaimanapun, mereka
masih saudara-saudari sedarah sebangsa setanah air kami.
Rusaknya generasi anda kan jadi
contoh bagi kami. Dari tragedi mengenaskan hingga insiden memalukan. Dari ruang
rapat parlemen yang sepi hingga jalan-jalan penuh darah. Segenap kami
menghaturkan terima kasih pada kalian. Inspirasi ini niscaya setajam panah
tembus langit, saji pancaran cahaya ke seluruh nusantara. Coretan dan ketikan
kami adalah senjata, artileri kelas berat hanya untuk penguasa yang zalim.
Cukuplah. Anda mengerti bukan? Kami
takkan melepasnya. Kami yakin anda bukan tipe orang yang mau bersujud demi
kepentingan asing, kami yakin. Maka sudahlah. Penuhi saja sedikit dari
janji-janji itu, lalu ingkari sisanya, entahlah, kami tak peduli. Orang-orang
sebelum anda telah menjadikan itu sebagai hobi, jadi kami sungguh-sungguh tidak
keberatan.
Sebaran kami banyak, lintas laut
dan generasi. Singkirkan saudara kami, maka siapkan payung anda.
Karena kami akan turun menerjang, keras.
Wasalam.
Jangan berhenti membaca
surat ini.
Bisu dan Terpaku,
Rakyatmu.