Senin, 09 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-2)

Title: Primordial


Chapter 1 part 2

Sebuah kursi dan kain. Udaranya sangat pengab, disertai bau amis yang sangat menyengat. Aku seharusnya berkata ada yang salah dengan ruangan ini dan memohon si kondektur untuk mengembalikanku ke gerbong, tapi aku sangat penasaran tentang rumor itu. Harapanku rumor itu hanya obrolan para siswi sekolah menengah, sehingga aku tidak mecelakai seorang pun (termasuk kondektur gila itu, seandainya dia ada).

“Maukah kau duduk di kursi di depan jendela itu?” dia meminta, atau memerintah dalam kasus ini.

“Baiklah,” jawabanku terurai jelas dari mulutku, walaupun bulu kudukku mengajak berkompromi.

Dengan tergesa-gesa, kududuki bangku kayu itu. Desainnya yang terlihat sangat mewah dan kuno membuat duduk diatasnya berasa seperti bangsawan dahulu kala. Pegangan di sisi kanan dan kiriku terbuat dari bahan logam (sangat mirip emas) yang diukir dengan motif yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Bantalan kursi ini juga empuk; aku merasa seperti menduduki sebuah bantal.

"Mau kubuatkan teh?"

"Tidak, terima kasih."

Sangat menggelikan bila aku benar-benar akan mati disini (demi tuhan, tak terdapat sebungkus pun teh kemasan di ruangan ini)

Senyumnya masih di sana, lalu dia mulai membuka mulutnya. “Aku sangat berharap kau punya alasan yang rasional tentang hal ini,”

Aku terdiam. Adakah yang rasional setelah aku membuka mata tidak lebih dari setengah jam yang lalu? Tidak. Sialnya, aku tidak bisa menjelaskan hal ini kepada seorang yang mungkin saja adalah salah satu psikopat paling sadis di kota ini. Bila orang normal saja tidak dapat mempercayaiku, si kondektur “waras” ini mungkin saja akan langsung membunuhku apapun yang aku katakan.

“Tidak ada alasan lain selain kecerobohan saya pak. Saya sangat menyesal sudah membuat anda kesulitan,” aku menjawab dengan nada rendah dan kepala tertunduk.

Jarak satu meter antara pria itu denganku seolah tidak ada artinya. Ruangan ini, reaksi wajahnya, dan kesunyian sementara ini membuatku seperti seekor rusa yang sudah diterkam oleh sang singa.

“Jadi kau mengaku menerobos masuk gerbong, begitu?” Sungguh, aku tidak dapat menjawab dengan apa-apa selain anggukan.

“Kau ridak menyangkal? Sama sekali?”

Aku mengangguk, kali ini dengan keraguan yang kentara. Si kondektur mungkin menyadarinya, yang menjelaskan tatapan agresif dari matanya.

“Dasar anak muda, berbuat seenaknya seakan kota ini milik kalian,” dia berkata sambil meludah ke arahku.

Aku mengangkat sebelah alisku. Sepertinya aku salah paham.

“Apa? Kau mau mengatakan sesuatu?” dia bertanya, kedua tangan di pinggangnya.

“Ya, kapan aku boleh keluar dari sini?”

Dia menatapku heran dan tertawa secara impromptu. Nada yang tidak normal kupikir. Sama sekali asing dan aneh, hampir histeris. Dia terus tertawa hingga hampir semenit kemudian sebelum meraih sesuatu dari kantong kemejanya yang lusuh.

“Keluar? Aku rasa tidak anak muda,” dia berkata dengan sebilah pisau dapur di tangan kanannya.

Sudah cukup, pria ini benar-benar tidak waras. Ini bukan rumor belaka, si kondektur gila memang ada. Aku harus keluar dari sini bagaimanapun caranya, tapi...bagaimana?

Dia semakin mendekat ke arahku. Dengan gesit, aku beranjak dari kursi, memutar, lalu menendang benda itu ke arah pria tersebut.

"Gah!" dia tersontak. Aku sempat berniat menggunakan momen ini sebagai pengalihan perhatian, sebelum kondektur itu dengan mudah mengangkat lengan kursi dan membantingnya ke sudut lain ruangan.

"Tsk"

Beberapa langkah dan aku masih bisa melangkah ke belakang, bila punggungku bertemu dinding gerbong aku terpaksa lari memutar sambil mencari cara mengambil kunci gerbong dari si kondektur. Kalau aku beruntung, mungkin aku masih bisa turun di stasiun berikutnya dalam satu bagian.

0 komentar:

Posting Komentar