Senin, 30 September 2013

Twitter Rules!

Saya serius. Twitter memang benar-benar keren.

Huh, tetapi sayang sekali karena saya baru 'menemukan'-nya tiga bulan lalu. 

Kilas pertama, saya mengira social media yang satu ini sama saja dengan yang lain. Ya... tidak beda jauh dengan Facebook atau Google+, dan ternyata saya salah selama ini.

Konsep twitter adalah micro-blogging social media. Berarti, atau setidaknya menurut pemikiran otak saya yang sederhana, Twitter dimaksudkan sebagai 'kicauan' para penggunanya tentang topik yang bebas, tentang apa saja yang ingin ditulis, dalam batasan karakter yang telah ditentukan.

Pengguna dapat mengaitkan satu atau lebih pengguna lain dalam 'kicauan'-nya, berbagi tautan, mengutarakan opininya secara bebas. 

Saya kira, itulah sejatinya fungsi media sosial di kehidupan modern. Bukannya sarana pamer wajah atau barang dengan foto hasil editan, atau kontes kepopuleran diantara penduduk dunia maya menggunakan barometer reputasi (itu menyedihkan). 

Dengan ini, saya juga telah menghapus akun Facebook saya. Kenapa? sudah jelas karena saya telah bertemu dengan penggantinya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm serious . Twitter rules, definitely .

Unfortunately because i just registered and found out about its' good points three months ago .

The first sight , I think this social media is the same as the other . Yes ... not much different from Facebook or Google+ , and it turns out I was wrong all along .

The concept of twitter is a micro - blogging social media . Means , or at least according to what my simple brain theorized , Twitter is meant as a place for its' users to ' tweet '  on a topic which is free , of what is to be written , within the limits specified character .

Users can associate one or more other users on their tweets , sharing links , expressing their opinion freely. It's great.

I think that's true of social media functions in modern life . Instead of showing off your good looks or new goods with edited photos , or a popularity contest among the residents of the virtual world with reputation bars (it's just sad).

With this , I also have deleted my Facebook account . Why you ask? why keep it anymore when i have Twitter?

Jumat, 13 September 2013

Because I Made This Blog

Saya selalu gelisah.

Tentang masa depan yang tak tentu, tentang harapan yang senantiasa menipu hati seolah berbisik "semua akan baik-baik saja."

Saya benci selalu dibohongi, maka saya buatlah benteng anti harapan.

Saya benci dikecewakan, maka saya tak lagi menggubris bisikannya.

Mungkin saya sama saja dengan orang lain, lebih-lebih pemuda yang tamat sekolah menengah. Memandang kosong kehidupan ini tanpa rasa tertarik atau penasaran, berpikir bahwa apapun akan sia-sia seandainya saya pun berusaha dengan sepenuh hati. Senantiasa menganggap kegagalan adalah kata yang utama kala seseorang diberi kesempatan untuk menggambarkan diri ini.

Nilai pas-pasan membawa saya ke sebuah universitas di luar kota, tanpa tujuan, dengan singgungan orang tua sebab tak mampu membanggakan keluarga masuk ke Institusi pendidikan idamannya di kota Bandung.

Haha, sungguh menyakitkan mengingatnya lagi.

Institusi itu menjadi tujuan saya belajar setelah SMA, namun mendengar orang tua mengekspresikan harapan tinggi dan bayangannya begitu kian mencabut niat yang sempat membara. Itu pasti, dengan hmnpir seluruh murid SMA se-nusantara bersaing melawan satu sama lain, saya tambah dibebani pikiran negatif seandainya saya gagal memenuhi mimpi orang tua yang terlanjur memenuhi otak. Sampai pada akhirnya, kebahagiaan orang tua lah yang diperjuangkan; masuk ke institut tersebut tak lagi menjadi tujuan pribadiku.

Alasan hidup hilang lagi, saya merasa tak lebih dari tulang dan daging, berjalan putus asa di atas muka bumi mencari alasan untuk tetap bernapas.

Hilanglah juga impian orang tua dan masa SMA; masa yang katanya, paling bahagia dan paling terngiang ketika tua nanti.

Heh.

Lulus seperti itu, saya benar-benar tidak yakin bisa hidup hingga tua. Saya juga tidak akan pernah ikut reuni, paling-paling tidak ada yang kenal dengan wajah saya yang biasa ini.

Nihil teman, nihil persahabatan, seharusnya saya lega karena tidak ada benang yang menahan, tetapi pertanyaan itu muncul saja dari benak pikir.

"Apa saja yang aku lakukan tiga tahun terakhir ini?"

Miris menjawabnya, karena cuma satu kata; belajar. Itu pun tak membuahkan hasil, nol besar.



Ada tentunya rasa iri saat melihat pemuda lain berjalan dengan senyum terkembang, melanglang buana Surabaya, kemana-mana matanya optimis mencari pengalaman. Beramai-ramai dengan temannya mengenakan pakaian necis dan bergaya menjajal mall demi mall menghabiskan waktu bersama.

Menyakitkan. Bahkan menyadari bahwa perasaan ini adalah dengki membuat perih dan berdarah dada sempit ini.

Saya tidak pernah ingin menyesal seperti ini.

Saya ingin membuat tali pertemanan. Sesuatu yang menciptakan hangat kuku disekujur tubuh ketika menyadari memilikinya.

Jadi saya--

---------------------------------------------------------------------------------------------------

I'm always worried.

About the uncertain future, about the deceiving hope that always seem to whisper assuringly "everything is going to be okay."

I hate being lied to, so i create a wall against hope

I hate being let down, so i ignored the whisper.

Maybe I'm just the same as other people, especially young people who graduated from high school. Looking at this empty life without being interested or curious, thinking that nothing is worth doing seriously even if I try with all my heart. Always assuming that 'failure' is the first word to come when a person is given the opportunity to describe me.

Mediocre grades took me to a university outside the city which raised me; Jakarta , aimlessly , with painful remarks from my parents because the family could not boast of their dreams of getting their eldest son into a famous educational institutions in the city of Bandung .Haha , really painful to remember again .The institution became my goal to learn after high school , but hearing my parents express high expectations and hopeful visions so routinely revoked my intention of getting accepted that was ever-smoldering . That's for sure, with almost all high school students nationwide compete against each other, it added negative, burdening thoughts to my head, especially when i imagine their disappointed faces upon hearing that i was not accepted into that institute. In the end, going into the institute was no longer my purpose, it's my parents'

Purpose for living is lost again , I feel nothing more than bones and flesh , walking desperately upon the earth, looking for a reason to keep breathing. 


Gone also dreams of parents and my high school years ; the happiest and the most memorable times, they said.

Heh. 

Graduating from a so-so high school with an average score like that , I'm not sure I can live until i grow old . I would also never join a reunion , no one will recognize who i am anyway, not with a standard and plain face like this.

Friends nil, friendship nil, I should be relieved that there are no threads holding me to the past, but the question came so suddenly in my mind. 

" What did I do in the last three years ? "

 Sad to answer , because it's just one word ; study . And it did not give a good result, a big zero .


There is certainly a sense of envy at the sight of another young man walking with a smile spreading, wandering Surabaya, optimistic eyes looking everywhere for experience . Abuzz with his dapper attire and style spending time together with his friends, mall after mall. 


Painful. Even just to realize that this feeling is indeed, jealousy, made my narrow chest bleed and aching.

I do not ever want to regret this.

I want to make friendship. Something which creates lukewarm feeling throughout the body when i realized have it. 

 So I--





Kamis, 12 September 2013

Perjanjian

I do like writing in both Indonesian and English that sometimes i cannot decide which one to use when posting. 

Saya suka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga kadang saya tidak bisa memilih satu diantara keduanya ketika membuat post.

And i cannot stop myself from using both.

Dan saya pun tidak bisa berhenti menggunakan keduanya.

Of course, that would create confusion for the readers; all of you reading this blog.

Tentu, itu akan menyebabkan para pembaca; kalian semua, kebingungan.

 To solve this, i came up with an idea of using both languages in every post from now on.

Guna menyelesaikan permasalahan ini, saya mengusulkan agar menggunakan kedua bahasa di post yang sama.

It will take a lot of time and energy, especially when i have a long post-- but that is acceptable.

Ini akan memakan waktu dan energi, apalagi bila post yang saya buat tergolong panjang-- tetapi saya tidak keberatan.

I've got to take the risks.

Saya harus mengambil resiko





Selasa, 10 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-6)

Akhir dari bab pertama cerbung ini.



Karakter di cerita ini fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan penulis. 


Title: Primordial



Chapter 1 part 6

Fokus, fokus. Sasaranku kening Hermann. Satu kali tembak, tak ada tembakan kedua. Tengah, tengah, tengah. Arahkan ke tengah. “Klik!”

“Dor!”

Pejaman mataku tak kulepaskan. Aku baru saja menembak seseorang.

“Jleb! Jleb! Jleb! Jleb!” suara itu tidak terdengar seperti suara tembakan.

“Jleb! Jleb! Jleb!”

Sebentar, jika bukan tembakan, lalu bunyi apakah itu? Kedengaran seperti benda tajam. Kelopak mata kubuka, hanya untuk melihat pemandangan menjijikkan. Aku benar-benar akan muntah kalau bisa.

Persis tujuh batang baja berujung lancip menembus dasar gerbong dan tertanam di tubuh Hermann. Tiga bersarang di mukanya, dan empat lainnya menususk leher dan bahunya. Topi petugasnya terlepas. Identitasnya sulit dikenali tanpa tanda pengenal. Posturnya menunduk, satu dorongan dari sudut tertentu mungkin bisa membuatnya meluncur menuju lantai. Darahnya mengalir dari partisi atas tubuhnya, menetes ke lantai dimana terdapat genangan darah yang lebih banyak, merah pekat. Pikiranku menuju warna cahaya di kegelapan beberapa saat sebelumnya. Sekarang aku mengerti kenapa.

“Pikirlah dahulu jika ingin mencurigaiku.”

Dia benar. Pistolnya ada di tanganku. Menarik pelatuk adalah hal bijak bila dia berani macam-macam.

Melirik ke arah pintu masuk gerbong, dia berkata: “Cepat, kita turun di stasiun ini bukan? Semua pertanyanmu akan kujawab, percayalah.”

Sial, aku lupa. Kelas dimulai jam 8:00 dan sekarang- uh, aku tidak berani melihat jam. Berhati-hati melewati mayat Hermann (apa yang akan terjadi jika teman sekelasku melihat darah di setiap jejakku?), kulangkahkan kakiku maju, ke arah pintu.

“Bau sekali, bagaimana kau bisa berdiri selama itu di tempat ini?”

“...”

Iris hijaunya mengecil. Pandangannya kosong. Rapuh.

“Hei, kau kenapa?”

Bungkam.

“Kita akan telat.”

Dia menggandeng kedua tangan. Menutup mata, berbisik berulang kali; dia berdoa. Tak sadar, sambil menunggunya aku juga ikut berdoa- meskipun tuhan kami berbeda. Selang dua menit berlalu, dia membuka matanya.

“Baiklah, mari berangkat.” aku keluar lebih dahulu, muak terjebak di tempat terkutuk itu. Segarnya partikel freon ditambah pewangi herbal memang tak ada duanya. Saking gembiranya, aku mencium dan mengendus-endus jok di sisi kanan dan kiri, mengabaikan komentarnya soal aku dan binatang anjing.

“Hmm? Diluar masih gelap. Kukira gerbong itu sengaja digelapkan.”

“Apa salahnya pergi sekolah lebih awal?”

Menggaruk keningku, aku berkata:“Tidak ada, kecuali kalau kau senang pergi sekolah pukul empat pagi.”

[Indonesian] [Orific] Primordial (chapter1-5)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.


Title: Primordal


Chapter 1 part 5

“Nah, kau dengar itu kan, Pak Hermann?” Raut wajahku santai.

Berbeda denganku, kedua orang lainnya di gerbong sepertinya terkejut. Hermann yang sedari tadi berbicara serius dengan napas tersengal-sengal sekarang bernapas lebih tentram dan teratur. Tetapi cuma keheningan yang kudapati darinya. Sumber cahaya merah itu, wanita bersayap; setidaknya kukira begitu, mulai kehilangan intensitas pendaran. Titik-titik berwarna putih sedikit terlihat di sekelilingnya, tak ubahnya sunspot pada matahari.

“Kau tahu?” Hermann bertanya, nada lirih keluar dari mulutnya.

“Aku berusaha memberiahumu,”

Alibi dan segudang dalih kusiapkan di berlakang kepalaku. Bahaya bila dia mengetahui aku telah berbohong; bukan tidak mungkin dia akan mengamuk dan membuat bagian leherku terpisah menjadi dua bagian.

“Baguslah, itu meringankan bebanku. Berarti kau sudah tahu apa yang tuanmu lakukan kepadaku,”

Motor kembali berputar.

“Tangan ini. HAHAHAHA, ya, kedua tangan ini. Merekalah yang akan memberikan hukuman yang setimpal kepada Attis dan para pengikutnya,” cahaya merah itu kembali berpendar terang.

Ketakutanku berubah menjadi kenyataan. Dia serius ingin membunuhku, bahkan di hadapan koleganya sendiri. “Hermann, berhenti sekarang juga, Kuperintahkan kau!” suara wanita itu lebih dekat dari sebelumnya.

“Yang Mulia Rena sebaiknya menjauh, saya takut nanti darahnya mengotori pakaian anda.” Belum cukup basah kemejaku oleh keringat yang terus menetes, Hermann berniat mewarnai seluruh pakaian sekolahku dengan warna merah. Pahitnya, cairan ide milikku tak kunjung menghasilkan sesuatu. Harus kuakui, letak harapan satu-satunya adalah sosok misterius yang bersinar merah. Perbincangan mereka membuatku berpikir hubungan mereka layaknya Nyonya dan pembantu. Perkiraanku, sangat wajar jika dia lebih kuat dari Hermann.

“Baiklah, kalau kau bersikeras menghapusnya.” wanita misterius berkata. Lucu, kukira radius sinarnya mulai melebar kingga ke bagian sisi kanan dan kiri gerbong. “Terpaksa aku melakukan ini.”

Lebih dari itu, aku merasakan radiasi berupa panas di sekujur tubuh ini, dan aku yakin suhunya semakin naik seiring waktu berjalan. Tidak salah lagi, dia memancarkan energi. Dalam jumlah besar, karena pengaruh nyata terhadap lingkungan sekitar telah kurasakan sendiri; langsung kujauhi dinding ketika panasnya menyengat sikutku.

Whooosh!” semilir angin menerpa badanku.

Lalu warna familiar yang berkilat, menghampiri posisiku.

“Dak!” Benturan pada bagian otak kecil dengan dinding. Siapapun dia, aku harus membalasnya. Seenaknya mengepal kepala milik orang lain lalu menghantamnya ke dinding logam. Wanita itu, dia pikir siapa dirinya?

Kurang ajar, namun ada hal yang menjadi fokus perhatianku. Telapak tangannya. “Eh?” Mungil. Dugaanku, siapapun yang menjinakkan hewan buas seperti Hermann mempunyai perawakan yang kurang lebih sebanding, atau lebih seram dan mencurigakan. Kutarik kembali persepsiku soal menganggap dia seorang wanita, sebab rasanya mustahil telapak tangan halus nan mungil itu milik orang dewasa. Setidakny mustahil dia lebih tua dari 15 tahun.

“Tenanglah, kau akan segera pulih.” dia berkata seraya memijat keningku. Energi di dalam tubuhku pulih, meskipun perlahan.“Sebagai gantinya, amu butuh bantuanmu.” lanjutnya.

Berangsur-angsur, hilanglah layar hitam dengan segala rasa lumpuh. Kilau merah yang sedari tadi kulihat raib, digantikan oleh seorang gadis yang berdiri kurang tiga jengkal dari hidungku. Terlalu dekat memang, dan aku merasa tak nyaman didekatnya. Namun, situasi genting seperti ini bukan saatnya untuk memilih keadaan.

“Sebelumnya terima kasih, tapi dia...” sengaja kulirik bagian belakang gadis itu. Dan tidak, aku tidak memalingkan wajahku darinya karena melihat dari dekat muka rupawan atau torso ala model miliknya. Hanya saja, ia memakai seragam murid perempuan sekolahku, yang cuma terdiri dari blus putih dan rok hitam-putih bercorak papan catur. Tunggu dulu, setelah kuingat blusnya berwarna lebih ke transparan daripada putih. “Glek.” Cih, aliran darah menuju wajahku. Aku sangat berterima kasih bila dia menjauh sebelum aku berfantasi tentang sesuatu yang menyedihkan antara kami berdua.

Tentu saja, dia masih dibawah Nadia, jika diberi rangking.

“Benar, karena itu aku membutuhkanmu dalam keadaan fokus, segera.” Hermann setia dengan pendiriannya; dia semakin mendekat. Anehnya, kedua bola mata sang maniak tetap tertuju padaku, seakan orang didepanku tak pernah ada disitu. Maksudku dia bahkan tak mengoceh lagi, hanya lurus menatapku. “Konsentrasi pada Hermann seorang.” lalu dia merogoh saku roknya.

“Ambillah, kau tahu selanjutnya kan?” tersenyum manis, dia menaruh begitu saja sebuah pistol magnum di atas telapak tanganku.

“Apa maksudmu?”

“Saat ini, Hermann tak dapat melihatku. Dimatanya kau sendirian, terpojok.”

"A-Apa? bagaimana mung-"

"Ini bukan waktunya menjelaskan! nyawamu sedang terancam."

Pistol ini adalah model ketiga yang dibuat oleh perusahaan Weyner & Reynold. Kaliber, atau diameter larasnya, selebar 44 inci. Kapasitas maksimal 6 peluru, serta merupakan kebanggaan para Nippon. Kekuatannya tak sebanding apa yang tentara di seluruh dunia gunakan sekarang, tapi model klasik tetap menjadi model klasik. Orang paham sejarah akan menghargainya, lagipula merobohkan satu pria tua bukan masalah bagi senjata ini.

Masalahnya, warga sipil sepertiku belum pernah menembak satu peluru pun.

“Selamatkan dirimu sendiri” dan dia menghilang. Sama seperti sebelumnya, ada hembusan angin yang membawanya pergi. Gadis itu pun kembali ke depan pintu masuk, tanpa disadari Hermann. Tanganku pun bergetar memegang pistol itu. Aku tahu gadis itu percaya padaku, kalau tidak dia sudah melarikan diri ke...entah darimana dia datang agar terhindar dari peluru nyasar.

Seandainya aku punya pilihan, Hermann.

“Tuhan, berikan aku kekuatan” ucap batinku.

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-4)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.


Title: Primordial


Chapter 1 part 4

Aku hanya duduk terpaku, membayangkan bagaimana kematianku akan terlihat dari sudut pandang yang lain. Tanpa pandangan yang jelas, hampir mustahil aku bisa selamat. Imajinasiku terus membayangkan bagaimana orang-orang terdekatku akan bereaksi ketika aku ditemukan mati di kereta ini.

Heh, apa sih yang kukatakan?

Tidak ada yang akan tahu mengenai pembunuhan ini kecuali si kondektur. Saluran pembuangan itu pasti penuh dengan mayat korban. Cuma tuhan yang tahu kapan mereka mengalami nasib naas berurusan dengan si maniak. Pernah terlintas dipikiranku rencana lain seandainya aku tak bisa menang melawan pria itu; mudah saja, aku tinggal meng-upload foto-foto di sekitar ruangan ke forum internet, pastinya foto-foto tersebut kuambil waktu dia sedang lengah, sedikit merendahkan harga diriku dengan meminta diampuni tidak masalah, terminal-ku termasuk kategori ukuran kecil, jadi sangat mungkin dia tak menyadari sebelum aku berhasil meng-upload.

Misalnya aku benar akan mati pun, tak akan sia-sia. Seseorang akan membongkar semua ini. Hal terberat bagiku adalah meninggalkan Nadia. Aku tidak tahan melihat wajahnya yang sedang bersedih.

“Berhenti disitu!”

Langkah kakinya berhenti, walaupun aku masih mendengar suara gergaji mesin setengah meter dari tempatku duduk.

“Y-Yang mulia! Apa yang baginda lakukan disini?” gergaji dimatikan.

Ada cahaya merah yang sangat terang di penglihatanku. Sebuah...tidak, seorang manusia dari bentuknya.

“Hermann, kau tahu aku sudah mencopotmu dari posisi seorang Purger,” wanita itu berkata.

Tidak ada jawaban dari Hermann.


 “Sudah terlalu lama kau mengabaikan aturan yang kita buat bersama,” derap kaki si wanita begitu lembut di telinga hingga aku akan terkejut bila dia memakai sepatu.

Aku mencoba berdiri untuk melihat cahaya itu lebih jelas. Pancarannya sangat terang tetapi juga sangat hangat, layaknya matahari pagi.

“Tapi aku hanya menjalankan tugasku seperti biasanya baginda,”

“Pernahkah kau mendengarkan orang lain, Hermann?” balas si wanita dengan nada sedikit kasar.

“Sistem sudah direvisi berbulan-bulan yang lalu, kami sudah memberitahumu,”

Aku mendengar seseorang memukul jendela gerbong, mungkin Hermann.

“Maaf baginda, tapi berikanlah hamba waktu untuk menghapus yang satu ini,”

“Tidak bisa,”

Menghapus? Ah, maksudnya membunuh kan?

“Bocah ini melanggar peraturan berkewarganegaraan, baginda, tolong pertimbangkan,”

“Kau tahu dia seorang vessel?”

Hermann terdiam, entah karena ketidaktahuan atau ketakutan.

“Attis sudah resmi mengklaimnya,”

“Attis? Dia vessel dari Attis? Bukankah ini membuatnya harus dihapus, baginda??”

“Sama sekali tidak,”

Percakapan ini membuatku muak. Aku harus tahu siapa mereka, dan apa yang mereka bicarakan. Kalau benar mereka mempunyai konflik, aku dapat menggunakannya untuk meningkatkan kemungkinanku untuk selamat.

Aku tidak peduli bila dia seorang wanita, kesempatan seperti ini tidak mungkin datang dua kali.

[Indonesian] [Orific] Primordial {Chapter 1-3)

Karakter yang muncul di cerita ini adalah fiksi dan tidak nyata, kesamaan nama adalah murni kebetulan dan tanpa kesengajaan dari pihak penulis.



Title: Primordial


Chapter 1 part 3

Entah apa yang orang pikir, melihat kami berlarian disekitar gerbong. Bermain kucing-kucingan layaknya dua bocah ingusan.

Pria itu pun tak kenal lelahnya mengayunkan pisau dapur ke arahku. Walaupun redup, sinar kekuningan dari lampu bohlam membantuku menghindarinya.

“Tidakkah sebaiknya kau menyerah dan pasrah menerima hukuman, anak kecil?”

Aku membalas senyum sarkastiknya. “Aku rasa tidak hari ini, pak kondektur,”

Pisaunya menghujam lagi, sekarang menuju tulang rusukku. “Wooosh!” tusukkan kondektur masih gesit kali ini. Kugerakkan badan 90 derajat ke samping, alhasil benda sialan itu cuma menusuk udara. Dapat kudengar desis kekecewaan dari mulutnya.

“Cih, selanjutnya akan tepat sasaran”

Menghindarinya mudah; serangan itu sama persis seperti yang ia lancarkan sejak pertama dia menyerangku. Masalahnya, aku harus menghentikan permainan ini, segera.

Beresiko, tetapi patut dicoba. “Kemari kau, orang tua!” teriakku lantang.

“Dasar kurang ajar! Kuajari kau sopan santun” Bunyi seretan sol sepatu pantofel memenuhi gendang telingaku. Tentu saja, hal ini membuatku bingung. Orang itu buas bukan main beberapa detik yang lalu, lalu sekarang dia menggeser kakinya perlahan ke arahku. Jangankan melukai kakinya, menyentuh kulitnya saja aku belum pernah.

Ia pasti terkilir.

Dekat tepi dekat jendela di ujung, Pisaunya hendak menghujam daerah Jantungku, tapi aku berhasil menghindar. yang membuatnya sedikit terkejut. 'Kesempatan!' batinku berseru. Aku coba mengarahkan kepalan tanganku ke matanya.

“Ugh!” serangan itu adalah kejutan semata, karena serangan sesungguhnya berawal dari kuda-kudaku, yang mudah dipersiapkan setelah serangan pertama.

“Ha!” Roundhouse kick segera disantap olehnya langsung dari kaki kananku selang beberapa detik.

“Argh!” Menuju lantai baja dia jatuh tersungkur. Dari pandanganku dia terlihat tak berdaya, untuk bangun sekalipun. Ketika darah mengalir dari pelipisnya, aku tahu bahwa sepakan kakiku tepat sasaran. Beruntung sepatu yang kupakai adalah sepatu standar sekolah. Jika menggunakan sepatu khusus 'hunting' punyaku, nyawa kondektur sudah raib sejak tadi.

Sang kondektur kini terkulai lemas dihadapanku. Pisau yang terlepas segera ku ambil(untuk berjaga-jaga). Kotak pembuangan di dekat pintu masuk sempat kulirik. Penciumanku tak akan salah, dari situlah bau amis sialan ini berasal. Sulit dipercaya hidungku belum terbiasa mencium baunya sama sekali. Busuk, seperti bangkai.

Aku masih berdiri di bawah lampu lima watt yang menerangi gerbong ini, menimbang berbagai pilihan yang mungkin bagiku. Membunuhnya akan membuat diriku sangat tidak bermoral, bahkan menurut standar yang kubuat sendiri. Membiarkannya disini akan membuatnya mengulangi hal yang sama ke siapa saja yang naik ke kereta ini tanpa membawa karcis, dan aku sangat tidak mungkin memanggil polisi; melaporkan kejadian absurd kepada polisi sering membuat mereka jengkel, salah-salah nanti aku dijadikan tahanan.

“Beraninya kau.., hah?” matanya terbelalak saat pisau dapurnya ku arahkan kepadanya.

“Ya, kenapa tidak?”

Aku lihat wajahnya pucat seperti habis melihat setan. Mungkin aku memang sedikit kejam, menendang seorang paruh baya sepertinya, tapi aku tidak seseram yang ia bayangkan. Ini apa yang
mereka sebut “self-defense” kan?

“Mungkin anda mempunyai sesuatu yang ingin dikatakan sebelum pisau ini menembus leher anda?”

Dia menggumam untuk yang entah keberapa kalinya, lalu terbahak lebih keras dari sebelumnya. Matanya tidak lagi menunjukkan emosi ketakutan. Senyumnya juga tidak tampak di wajahnya, digantikan oleh lidah yang menjulur keluar dari mulutnya; dia terlihat seperti seekor anjing kelaparan.

“Diam kau! Aku bisa membunuhmu saat ini juga, tahu?”

Dia tetap terbahak, seperti tidak mendengar suaraku sama sekali.

“Aku bilang diam!”

Tangan kananku bergetar dan melepas pisau dapur itu. Aku merasa sangat mual tiba-tiba. Aku berjalan mundur dari si kondektur dan duduk termangu melihat layar hitam di hadapanku.

'Sial, ada apa dengan tubuhku?'

Semuanya hilang. Lampu lima watt, pisau dapur, si kondektur maniak, semuanya tidak ada di pandanganku. Aku mencoba meraba-raba lingkungan disekitarku. Logam, setidaknya aku tahu aku masih di gerbong.

“Ini sangat menyenangkan. Teriakan para kriminal sepertimu selalu terdengar seperti musik di telingaku,” lalu aku mendengar suara motor mesin berputar.

“Nnnggeeeeeennng”

Aku punya beberapa kemungkinan yang mungkin benar tentang motor itu. Satu, generator sedang dinyalakan; hanya bekerja bila listrik mati. Dua, itu sama sekali bukan suara motor. Tiga, suara itu mirip seperti gergaji mesin; mungkin hanya halusinasiku karena menonton film horror terlalu sering.

Pilihan pertama sebenarnya yang aku ingin percaya. Hanya saja, yang aku tahu, generator listrik bekerja terhadap kereta buatan sebelum tahun 310 di sistem antargerbong setelah listrik mati. Model setelah tahun 310 sudah beralih ke tenaga surya via bilik dengan tinggi sepadan rel. Bilik ini ada setiap tempat pemberhentian di semua stasiun. Mengingat iklim intens Batavia, ini terbukti efektif menanggulangi kehabisan tenaga pengoperasian di perjalanan.

Satu poin terepenting adalah bahwa kereta ini mustahil berasal dari tahun 310. Peraturan prefektur kami telah jelas menyatakan pemberhentian operasi kereta bawah tanah yang berumur lebih dari sepuluh tahun.

“Mati kau, bocah,”

Kemungkinan kedua mustahil terjadi. Aku sangat yakin ini suara motor, karena...suaranya semakin dekat di telingaku. Beberapa derap langkah ke arahku, ini bahaya. Kucoba berdiri lagi, namun apa daya, tubuhku seluruhnya kaku. Seratus persen, aku yakin dia membawa gergaji mesin

Persetan dengan film horror, aku memang paranoid.

Senin, 09 September 2013

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-2)

Title: Primordial


Chapter 1 part 2

Sebuah kursi dan kain. Udaranya sangat pengab, disertai bau amis yang sangat menyengat. Aku seharusnya berkata ada yang salah dengan ruangan ini dan memohon si kondektur untuk mengembalikanku ke gerbong, tapi aku sangat penasaran tentang rumor itu. Harapanku rumor itu hanya obrolan para siswi sekolah menengah, sehingga aku tidak mecelakai seorang pun (termasuk kondektur gila itu, seandainya dia ada).

“Maukah kau duduk di kursi di depan jendela itu?” dia meminta, atau memerintah dalam kasus ini.

“Baiklah,” jawabanku terurai jelas dari mulutku, walaupun bulu kudukku mengajak berkompromi.

Dengan tergesa-gesa, kududuki bangku kayu itu. Desainnya yang terlihat sangat mewah dan kuno membuat duduk diatasnya berasa seperti bangsawan dahulu kala. Pegangan di sisi kanan dan kiriku terbuat dari bahan logam (sangat mirip emas) yang diukir dengan motif yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Bantalan kursi ini juga empuk; aku merasa seperti menduduki sebuah bantal.

"Mau kubuatkan teh?"

"Tidak, terima kasih."

Sangat menggelikan bila aku benar-benar akan mati disini (demi tuhan, tak terdapat sebungkus pun teh kemasan di ruangan ini)

Senyumnya masih di sana, lalu dia mulai membuka mulutnya. “Aku sangat berharap kau punya alasan yang rasional tentang hal ini,”

Aku terdiam. Adakah yang rasional setelah aku membuka mata tidak lebih dari setengah jam yang lalu? Tidak. Sialnya, aku tidak bisa menjelaskan hal ini kepada seorang yang mungkin saja adalah salah satu psikopat paling sadis di kota ini. Bila orang normal saja tidak dapat mempercayaiku, si kondektur “waras” ini mungkin saja akan langsung membunuhku apapun yang aku katakan.

“Tidak ada alasan lain selain kecerobohan saya pak. Saya sangat menyesal sudah membuat anda kesulitan,” aku menjawab dengan nada rendah dan kepala tertunduk.

Jarak satu meter antara pria itu denganku seolah tidak ada artinya. Ruangan ini, reaksi wajahnya, dan kesunyian sementara ini membuatku seperti seekor rusa yang sudah diterkam oleh sang singa.

“Jadi kau mengaku menerobos masuk gerbong, begitu?” Sungguh, aku tidak dapat menjawab dengan apa-apa selain anggukan.

“Kau ridak menyangkal? Sama sekali?”

Aku mengangguk, kali ini dengan keraguan yang kentara. Si kondektur mungkin menyadarinya, yang menjelaskan tatapan agresif dari matanya.

“Dasar anak muda, berbuat seenaknya seakan kota ini milik kalian,” dia berkata sambil meludah ke arahku.

Aku mengangkat sebelah alisku. Sepertinya aku salah paham.

“Apa? Kau mau mengatakan sesuatu?” dia bertanya, kedua tangan di pinggangnya.

“Ya, kapan aku boleh keluar dari sini?”

Dia menatapku heran dan tertawa secara impromptu. Nada yang tidak normal kupikir. Sama sekali asing dan aneh, hampir histeris. Dia terus tertawa hingga hampir semenit kemudian sebelum meraih sesuatu dari kantong kemejanya yang lusuh.

“Keluar? Aku rasa tidak anak muda,” dia berkata dengan sebilah pisau dapur di tangan kanannya.

Sudah cukup, pria ini benar-benar tidak waras. Ini bukan rumor belaka, si kondektur gila memang ada. Aku harus keluar dari sini bagaimanapun caranya, tapi...bagaimana?

Dia semakin mendekat ke arahku. Dengan gesit, aku beranjak dari kursi, memutar, lalu menendang benda itu ke arah pria tersebut.

"Gah!" dia tersontak. Aku sempat berniat menggunakan momen ini sebagai pengalihan perhatian, sebelum kondektur itu dengan mudah mengangkat lengan kursi dan membantingnya ke sudut lain ruangan.

"Tsk"

Beberapa langkah dan aku masih bisa melangkah ke belakang, bila punggungku bertemu dinding gerbong aku terpaksa lari memutar sambil mencari cara mengambil kunci gerbong dari si kondektur. Kalau aku beruntung, mungkin aku masih bisa turun di stasiun berikutnya dalam satu bagian.

[Indonesian] [Orific] Primordial (Chapter 1-1)

I've decided to seperate the chapters into parts, so that it would be less tedious to read rather than reading a whole chapter.

Enjoy, if you will.




Title: Primordial


Chapter 1 part 1




“Nak, bisakah kau keluarkan karcismu?” Aku terbangun.

Melihat sekeliling, mataku berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Dari bentuknya, sepertnya aku sedang ada di salah satu gerbong dari kereta bawah tanah. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 8:30. Baguslah, aku belum terlambat untuk kelas.




“Nak? Kau punya karcismu kan?” di hadapanku berdiri seorang pria paruh baya dengan seragam kondektur. Senyumannya yang lebar kubakas dengan tertawaan kecil.

'Aku ridak ingat pernah membeli karcis pagi ini,'

“Sebentar, akan kucari di tas,” Aku bergegas merogoh saku tasku.

Gawat, aku tidak menemukannya. Di saku tas, di bagian belakang, sudah kucari semuanya. Mungkin di saku celana? Tidak mungkin.

Sial, ternyata aku akan menumpang gratis di kereta ini. Aku hanya berharap orang ini dapat menerima alasanku.

Satu hal yang membuatku resah soal ini adalah rumor yang beberapa hari ini aku dengar.

Mereka bilang, banyak dari anak Sekolah menengah sepertiku yang hilang saat menaiki kereta jam pagi. Salah seorang saksi mengatakan kondektur yang bertugas kerap kali menggiring para penumpang yang tidak mempunyai karcis ke gerbong belakang. Tidak ada yang pernah ke gerbong belakang dan entah mengapa, si kondektur selalu keluar dari gerbong belakang sendirian setelah membawa masuk si penumpang gratisan.

Kondektur itu masih tersenyum ke arahku, menengadahkan tangannya. Dengan sopan, aku berdiri dan berbalik senyum ke arahnya. Kemudian aku meminta maaf kepadanya dengan nada menyesal dan alasan bahwa karcisku hilang.

Kondektur itu masih tersenyum kearahku.

“Jadi, bolehkah saya menumpang di kereta ini? Setidaknya sampai di pemberhentian selanjutnya?” Aku bertanya kepadanya.

Diam, Kondektur itu tersenyum kepadaku.
“Pak?”

Senyumnya yang lebar kali ini terkesan mengerikan untukku karena tidak ada jawaban. Suasana gerbong yang jendelanya berkabut karena pendingin ruangan juga membuat ketakutan ini makin kental. Secara singkat, situasi ini benar-benar tidak menguntungkan bagiku.

Kondektur itu masih tersenyum kepadaku.

“Bisakah kamu ikut denganku, nak?”

Aku berpikir sejenak. Gerbong ini sangat sepi, bila kulihat secara seksama. Hanya ada aku, si kondektur, dan orang tua di sudut kanan dari tempatku berdiri. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku.

“Baiklah,” aku jawab.

Chelsea smile.

Kondektur itu dengan cekatan meraih kerah kemejaku, mengangkatku sehungga aku tidak menginjak lantai gerbong lagi. Aku menyadari bahwa si kondektur memang mempunyai tubuh yang besar dan tinggi, tetapi jarak dari lantai gerbong ke kakiku mengkonfirmasikan hal itu. Sulit dipercaya, apakah ada orang normal yang bisa melakukan hal semacam ini?

“Ikuti aku,”

Aku berusaha melepaskan cengkramannya dengan hasil percuma. Kedua tanganku hanya bagaikan tangan bayi yang hendak merebut mainan dari ayahnya. Cengkramannya sangat kuat sampai aku tidak percaya sama sekali kalau dia manusia.

“Bagaimana-ack! Bisa bila kau memegangiku seperti ini?”

Dia menaikkan salah satu alisnya. “Hmm? Ikuti saja aku dan jangan banyak bicara,”

Tiba-tiba dia melepas tangannya dari kerah kemejaku, membuat diriku jatuh menghantam lantai. Untung saja kepalaku tidak jatuh duluan, atau itu akan terasa sakit sekali.

“Berdiri dan ikuti aku,” dia berkata sambil menuju ke arah pintu gerbong, masih tersenyum.

Aku segera merapikan dasi dan kerahku sambil menggigil karena udara di sekitar. Tsk, ternyata orang tua itu sudah kabur ke gerbong lain, dasar tidak berguna.

“Ayo nak, jangan membuatku menunggu,” Perutku merasa tidak enak dan aku tahu ini suatu pertanda. Aku hanya berharap bisa datang tepat waktu ke kelas.

[Indonesian] [Orific] Primordial (prolog)



Ini maksudnya cerita bersambung yang baru-baru ini dibuat oleh saya sendiri.

Judulnya terasa asing di kepala, tapi ijinkan saya melontarkan satu frasa bahasa Inggris di sini.

Primordial Soup.

Terbayang? atau tidak sama sekali? Biar lebih pasti gunakan mesin pencari (ehem, ehem, google). Penulis memang berniat sok pintar dengan memakai frasa bahasa luar, tetapi biarkanlah saya seperti itu karena sudah bawaan sejak lahir. Maaf.





Title: Primordial
Genre: Sci-fi


Prolog



Kejadian itu, sudah 6 tahun lamanya. Aku masih dapat mengingatnya seakan itu baru terjadi kemarin. Seperti film yang diputar kembali setiap aku menutup kedua pelupuk mataku ini, memori itu tak kunjung hilang, atau setidaknya terbenam di tumpukan kenangan manis yang aku punya. Tidak terpikirkan olehku untuk melupakan kejadian tersebut, sebabnya bukan karena kesibukkan dunia nyata, tetapi...

“Ada urusan apa malam-malam?”

“...”

Tetapi, memang aku sendiri sadar bahwa memorinya tak akan bisa hilang, dengan cara apapun. Sudah kucoba berkunjung ke beberapa psikolog, jawaban mereka semua sama; ingatan itu akan hilang dengan sendirinya. Mungkin bukan tempatku untuk berbicara mengenai kompetensi, tapi aku tidak bisa menahan kekesalan saat mereka memberiku jawaban yang tidak solutif dengan santainya seakan ini adalah sesuatu yang normal.

“Hmmh, baiklah. Jangan lupa kunci pintunya jika kamu sudah kembali,”

Aku sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan normal sejak lama. Bagaimanapun juga, aku harus konsentrasi belajar, khususnya tahun ini. Memang, untuk orang lain aku terlihat seperti memaksakan diri, dan aku memaklumi hal itu. Lolos seleksi tingkat nasional ke salah satu Universitas ternama di Batavia I telah menjadi tujuanku, dan sudah jelas itu bukan sesuatu hal yang teramat muluk untuk orang ber-IQ 157 sepertiku, tapi itu bukan berarti aku bisa bersantai tanpa beban, kau tidak pernah tahu apa atau siapa yang menikammu dari belakang.

“Kamu tidak apa-apa kan sendiri? Rumah ini luas lho, dan aku dengar ada...”

Kurva dan lekukan wajahnya berubah seketika, seiring dengan warnanya yang memudar. “...A-Ada apa?”

Rumah yang aku tinggali sekarang bukan milikku, melainkan milik teman SMP-ku, Nadia. Ah, sebenarnya rumah itu bukan benar-benar miliknya, namun apa bedanya? Tukang cuci yang pulang jam 4 sore dan ayah yang sering bussiness trip ke luar kota sudah cukup meyakinkanku bahwa rumah itu ditinggali hampir sepenuhnya oleh ia seorang. Hah? Nekat? Tidak sama sekali. Aku menginap di rumahnya dua tahun belakangan ini karena dia memintaku, lagipula rumahku sedang dalam proses pemindahan tangan, dan aku sudah bosan mendengar celotehan ibu-ibu PKK tentang kehadiranku sampai di titik dimana aku tidak peduli lagi.

Perasaan geli eksis di otakku. Gadis itu, aku ingin menggodanya lebih jauh. “Ada..pembunuhan tragis. Aku dengar arwahnya ma-”

“Jangan diteruskan!” wanita muda dihadapanku seraya gemetar, menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Tidak heran dia sangat populer di sekolah. Maksudku, lihat saja kelakuannya. Aku yakin satu-satunya alasan dia tidak punya pacar adalah karena aku tinggal di rumahnya, yang secara tidak langsung mematri asumsi bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Aku mengambil napas, tidak terasa sudah lama sekali aku tidak mengerjainnya. “Ha? Aku tidak menyangka kamu adalah tipe orang penakut seperti ini.“

“Siapa bilang aku penakut? Aku hanya...” hal yang aku merasa selalu berhutang pada wanita muda dihadapanku ini adalah bagaimana dia memperlakukanku seperti seorang bocah. Semua pekerjaan rumah dilakukannya tanpa menyisakan satu pun untukku. Aku tidak pernah bilang tidak butuh bantuannya, karena itu mustahil, tidak mungkin aku menolak makan tiga kali sehari yang gratis, tanpa melakukan tindak kriminal tentunya.

Terasa ada yang bergetar di saku celanaku. Oh Tuhan, aku lupa.

“Sepertinya si bos memanggilku,” aku bergegas menuju gerbang rumah ketika lengan kemeja putihku tertarik, aku penasaran apa yang dia inginkan sekarang.

“Sebentar saja,”

Ini bukan waktu yang tepat, tapi tentu saja Nadia tidak seharusnya tahu itu.

“Oh? Rupanya kau benar-benar takut berada di sini, hmm?,” dia menggeleng, pertanda bukan itu maksudnya.

Nadia mendekat kearahku dan dengan mata coklatnya menatapku. Aku hanya bisa terdiam ketika menyadari seluruh tubuhku tiba-tiba menjadi lumpuh. Seakan bisu, suara dari kerongkonganku juga tak kunjung datang. Saat napasku menjadi berat, aku merasa ada yang salah. “Akhh!”

Rasanya perih. Aku ingin menangis tapi apa daya. Lengan dan kedua kakiku yang tanpa kusadari telah lumpuh, sekarang terasa panas; bak berendam di kawah gunung berapi. Kemudian tubuhku lemas, tergeletak di hamparan paving block yang dingin.

Samar, mataku menangkap siluet seseorang. Nadia. Dia cuma menatapku. Lama sekali. Perasaanku berkata dia akan tetap diam sampai entah kapan. Namun aku bersedia menunggu, hanya untuk mendengar suaranya.

“Kumohon, bicaralah”

Hingga kesadaranku pun mulai hilang menunggu bibir manisnya bergerak. Dan di gelapnya pandangan, aku masih berharap mendengar suaranya. Tentu saja, bukan itu yang terjadi.

Point

Hi. You can call me North, or just Nor, not that it really matters to me.

I am an Indonesian, currently living in Surabaya, East Java, as a university student.

I write, anything that comes to mind. Be it fantasy, romance, science fiction, essay. It is my hobby since high school, besides japanese pop culture, daydreaming and bathroom singing (are those last two even considered hobbies, i don't know). I do write in both Indonesian and English, though i prefer the first one at times.

Literatures have always fascinated me in a weird fashion, that is why three years ago, i started writing short stories. None ever gone published to the internet, and i probably never will; it's just too embarassing.

But then again, i do not think this hobby as just mere time passing. So one day, i decided to create a blog to post all of my writings, with good intentions of finding people that are the same as me, hoping they would give feedbacks as to what is good and bad of the things that i write.

Then-

BOOM!

This blog was created.

Just like that.

Okay, you don't really need to read this far without TL;DR-ing me. I know this post must be awfully boring to read anyway.




Salam.

North.